2 Dengan studi Ushul Fiqh seseorang akan memperoleh kemampuan untuk memahami ayat-ayat hukum dalam Al Quran dan hadits-hadits hukum dalam Sunnah Rasulullah, kemudian mengistinbatkan hukum dari dua sumber tersebut. Dalam Ushul Fiqh, seseorang akan memperoleh pengetahuan bagaimana seharusnya memahami sebuah ayat atau hadits, dan
Dengankata lain, Ushul Fikih merupakan metodologi atau teori yang tidak hanya digunakan untuk memahami hukum-hukum syaraโ saja, melainkan juga dapat berfungsi untuk menetapkan dan menghasilkan hukum-hukum syaraโ yang bersifat furuโiyah. Objek Pembahasan Ilmu Fikih. Ilmu Fikih merupakan cabang (furuโ) dari ilmu Ushul Fikih.
Selang200 tahun berlalu. Ushul fiqih mulai tersebar luas di sela-sala hukum fikih. Hal ini karena setiap imam mujtahid dari empat imam (Hanafi, Maliki, Syafiโi dan Hambali) selalu memaparkan dalil pada setiap hukum yang dikeluarkan, berikut metode pengambilannya. Semua metode dan hujah-hujah ini tercakup dalam kaidah-kaidah ushul fiqih.
Merekasemua fudhala dalam furuโ dan ushul. Tentu dalam masing-masing madrasah baik dalam madrasah Maturidiyah, Asyairah dan Hanabilah masing-masing ulama mempunyai kecendurangan masing-masing. Sehingga dalam satu madrasah sendiri ada beberapa tariqah (jalan) dalam berfikir, sesuai โfesyenโ masing-masing, sesuai dengan
Hukumtaqlid berbeda-beda sesuai dengan keadaan orang yang bertaqlid dan masalah apa yang ditaqlidi. Dalam soal agama bidang yang ditaqlidi terbagi 2 (dua) yaitu masalah akidah (ushul) dan masalah fiqih (furu'iyah) HUKUM TAKLID BAGI ORANG AWAM Ada 2 (dua) pendapat tentang hukum taqlid bagi orang awam. (a) Wajib atau boleh; (b) Haram; .
Vay Tiแปn Trแบฃ Gรณp Theo Thรกng Chแป Cแบงn Cmnd Hแป Trแปฃ Nแปฃ Xแบฅu. ๏ปฟIslam adalah Aqidah, Syariat dan Akhlaq. Ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan, satu sama lainnya saling terkait dan saling menyempurnakan. Ketiganya terhimpun dalam Ajaran Islam melalui dua ruang ilmu, yaitu USHULUDDIN dan FURUโUDDIN. Ushuluddin biasa disingkat USHUL, yaitu Ajaran Islam yang sangat PRINSIP dan MENDASAR, sehingga Umat Islam wajib sepakat dalam Ushul dan tidak boleh berbeda, karena perbedaan dalam Ushul adalah Penyimpangan yang mengantarkan kepada kesesatan. Sedang Furuโuddin biasa disingkat FURUโ, yaitu Ajaran Islam yang sangat penting namun TIDAK PRINSIP dan TIDAK MENDASAR, sehingga Umat Islam boleh berbeda dalam Furuโ, karena perbedaan dalam Furuโ bukan penyimpangan dan tidak mengantarkan kepada kesesatan, tapi dengan satu syarat yakni ADA DALIL YANG BISA DIPERTANGGUNG JAWABKAN SECARA SYARโI. Penyimpangan dalam Ushul tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Sedang Perbedaan dalam Furuโ wajib ditoleran dengan jiwa besar dan dada lapang serta sikap saling menghargai dan menghormati B. MENENTUKAN USHUL DAN FURUโ Cara menentukan suatu masalah masuk dalam USHUL atau FURUโ adalah dengan melihat Kekuatan Dalil dari segi WURUD Sanad Penyampaian dan DILALAH Fokus Penafsiran. WURUD terbagi dua, yaitu 1. Qothโi yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya MUTAWATIR. 2. Zhonni yakni Dalil yang Sanad Penyampaiannya TIDAK MUTAWATIR. Mutawatir ialah Sanad Penyampaian yang Perawinya berjumlah banyak di tiap tingkatan, sehingga MUSTAHIL mereka berdusta. DILALAH juga terbagi dua, yaitu 1. Qothโi yakni Dalil yang hanya mengandung SATU PENAFSIRAN. 2. Zhonni yakni Dalil yang mengandung MULTI PENAFSIRAN. Karenanya, Al-Qurโan dari segi Wurud semua ayatnya Qothโi, karena sampai kepada kita dengan jalan MUTAWATIR. Sedang dari segi Dilalah maka ada ayat yang Qothโi karena hanya satu penafsiran, dan ada pula ayat yang Zhonni karena multi penafsiran. Sementara As-Sunnah, dari segi Wurud, yang Mutawatir semuanya Qothโi, sedang yang tidak Mutawatir semuanya Zhonni. Ada pun dari segi Dilalah, maka ada yang Qothโi karena satu pemahaman dan ada pula yang Zhonni karena multi pemahaman. Selanjutnya, untuk menentukan klasifikasi suatu persoalan, apa masuk Ushul atau Furuโ, maka ketentuannya adalah 1. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Qothโi, maka ia pasti masalah USHUL. 2. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud dan Dilalah sama-sama Zhonni, maka ia pasti masalah FURUโ. 3. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Qothโi tapi Dilalahnya Zhonni, maka ia pasti masalah FURUโ. 4. Suatu Masalah jika Dalilnya dari segi Wurud Zhonni tapi Dilalahnya Qothโi, maka Ulama berbeda pendapat, sebagian mengkatagorikannya sebagai USHUL, sebagian lainnya mengkatagorikannya sebagai FURUโ. Dengan demikian, hanya pada klasifikasi pertama yang tidak boleh berbeda, sedang klasifikasi kedua, ketiga dan keempat, maka perbedaan tidak terhindarkan. Betul begitu ?! C. CONTOH USHUL DAN FURUโ 1. Dalam Aqidah Kebenaran peristiwa Isra Miโraj Rasulullah SAW adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHโI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah Rasulullah SAW mengalami Israโ Miโraj dengan Ruh dan Jasad atau dengan Ruh saja, maka masuk masalah FURUโ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kebenaran peristiwa Israโ Miโraj Rasulullah SAW maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AQIDAH. Namun barangsiapa yang mengatakan Rasulullah SAW mengalami Israโ Miโraj dengan Ruh dan Jasad atau Ruh saja, maka selama memiliki Dalil Syarโi ia tidak sesat, karena masalah FURU AQIDAH. 2. Dalam Syariat Kewajiban Shalat 5 Waktu adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHโI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah apakah boleh dijamaโ tanpa udzur, maka masuk masalah FURUโ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kewajiban Shalat Lima Waktu maka ia telah sesat karena menyimpang dari USHUL SYARIAT. Namun barangsiapa yang berpendapat bahwa boleh menjamaโ shalat tanpa โudzur atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syarโi ia tidak sesat, karena masalah FURU SYARIAT. 3. Dalam Akhlaq Berjabat tangan sesama muslim adalah sikap terpuji adalah masalah USHUL, karena Dalilnya QOTHโI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Namun masalah bolehkah jabat tangan setelah shalat berjamaโah, maka masuk masalah FURUโ, karena Dalilnya ZHONNI, baik dari segi WURUD mau pun DILALAH. Karenanya, barangsiapa menolak kesunnahan jabat tangan antar sesama muslim, maka ia telah sesat, karena menyimpang dari USHUL AKHLAQ. Namun barangsiapa yang berpendapat tidak boleh berjabat tangan setelah shalat berjamaโah atau sebaliknya, maka selama memiliki Dalil Syarโi ia tidak sesat, karena masalah FURUโ AKHLAQ. Inilah yang menjadi metolodogi yang disepakati oleh para salaf dan kalaf, guna menjadi panduan dalam bermanhaj. Allah al mustaโan..
NafkahUshul dan Furuรขโฌโข merupakan salah satu problematika dalam ruang lingkup kekerabatan yang harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak. Dan kewajiban seorang anak yang memiliki kesanggupan terhadap hartanya. Dalam mazhab Syafiรขโฌโขi menggunakan dalil ayat yang umum tentang nafkah Ushul dan Furuรขโฌโข yaitu surat al-Baqarah ayat 233 dengan cara meng istinbatkan hukum dengan jalan mengqiyaskan pada pemberian nafkah kepada istri dan anak, sebab dalil yang explisit tentang nafkah Ushul dan Furuรขโฌโข itu tidak ada dalil. Rumusan penelitian dalam skripsi ini adalah mengenai hukum pemberian nafkah Ushul dan Furuรขโฌโข serta bagaimanakah metode penetapan hukum mazhab Syafiรขโฌโขi yang digunakan. Adapun penulis menggunakan jenis penelitian library research dengan mempelajari kitab-kitab, dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian dalam permasalahan nafkah dalam keluarga dan penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan membuat deskriptif secara sistematis dan akurat mengenai fenomena yang diteliti. Hasil dari penelitian ditemukan bahwa imam Syihabuddin al-รขโฌหAbbas Ahmad al-Qalyubi, Syaikh Zainuddin al-Malibari dan imam Taqayuddin al-Hishininafkah Ushul dan Furuรขโฌโข yang disebutkan dalam kitab Hasyiatan Qalyubi-รขโฌหUmairah, Fathul Muรขโฌโขin dan Kifรยtul Akhyรยr fรยฉ hรยll Rรยyatรโl Ikhtisรยr wajib diberikan nafkah oleh seseorang ayah terhadap anaknya, apabila anak tersebut fakir, kecil dan gila, dan kewajiban seorang anak untuk menafkahi orang tuanya apabila orang tua tersebut fakir dan gila. Dan apabila anak tersebut memilki kesanggupan terhadap harta yang di milikinya sekira-kira lebih dari kebutuhan hidupnya dari sehari semalam maka wajib memberi nafkah, seandainya seorang anak tidak memiliki harta karena dia miskin, maka tidak ada kewajiban apapun atas anak tersebut. Metode penetapan hukum mazhab Syafiรขโฌโขi dalam hal ini adalah dengan jalan mengqiyaskan oleh imam al-Qalyubi kepada dalil al-Qurรขโฌโขan surat al-Baqarah ayat 233 yaitu kepada hukum pemberian nafkah isteri dan anak, dan Syaikh Zainuddin al-Malibari tidak menggunakan dalil ayat al-Qurรขโฌโขan, tapi menyatakan secara tegas tentang kewajiban nafkah ushul dan furuรขโฌโข dalam kitab Fathul al-Muรขโฌโขin, imam al-Hishini menggunakan surat al-lahab untuk dalil nafakah ushul dan furuรขโฌโข. Dan sunnah-sunnah yang berkaitan dengan hukum pemberian nafkah keluarga yang terdapat dalam berbagai kitab fiqh dan buku-buku Islam. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Samarah Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Volume 1 No. 2. Juli-Desember 2017 ISSN 2549 โ 3132; E-ISSN 2549 โ 3167 Kewajiaban Nafkah Ushul Dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar Fakhrurrazi Fakultas Syariโah dan Hukum UIN Ar-Raniry Email & fakhrurrazi Abstrak NafkahUshul dan Furuโ merupakan salah satu problematika dalam ruang lingkup kekerabatan yang harus dipenuhi oleh orang tua terhadap anak. Dan kewajiban seorang anak yang memiliki kesanggupan terhadap hartanya. Dalam mazhab Syafiโi menggunakan dalil ayat yang umum tentang nafkah Ushul dan Furuโ yaitu surat al-Baqarah ayat 233 dengan cara meng istinbatkan hukum dengan jalan mengqiyaskan pada pemberian nafkah kepada istri dan anak, sebab dalil yang explisit tentang nafkah Ushul dan Furuโ itu tidak ada dalil. Rumusan penelitian dalam skripsi ini adalah mengenai hukum pemberian nafkah Ushul dan Furuโ serta bagaimanakah metode penetapan hukum mazhab Syafiโi yang digunakan. Adapun penulis menggunakan jenis penelitian library research dengan mempelajari kitab-kitab, dan buku-buku yang berkaitan dengan penelitian dalam permasalahan nafkah dalam keluarga dan penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan membuat deskriptif secara sistematis dan akurat mengenai fenomena yang diteliti. Hasil dari penelitian ditemukan bahwa imam Syihabuddin al-โAbbas Ahmad al-Qalyubi, Syaikh Zainuddin al-Malibari dan imam Taqayuddin al-Hishininafkah Ushul dan Furuโ yang disebutkan dalam kitab Hasyiatan Qalyubi-โUmairah, Fathul Muโin dan Kifฤtul Akhyฤr fฤฉ hฤll Rฤyatศl Ikhtisฤr wajib diberikan nafkah oleh seseorang ayah terhadap anaknya, apabila anak tersebut fakir, kecil dan gila, dan kewajiban seorang anak untuk menafkahi orang tuanya apabila orang tua tersebut fakir dan gila. Dan apabila anak tersebut memilki kesanggupan terhadap harta yang di milikinya sekira-kira lebih dari kebutuhan hidupnya dari sehari semalam maka wajib memberi nafkah, seandainya seorang anak tidak memiliki harta karena dia miskin, maka tidak ada kewajiban apapun atas anak tersebut. Metode penetapan hukum mazhab Syafiโi dalam hal ini adalah dengan jalan mengqiyaskan oleh imam al-Qalyubi kepada dalil al-Qurโan surat al-Baqarah ayat 233 yaitu kepada hukum pemberian nafkah isteri dan anak, dan Syaikh Zainuddin al-Malibari tidak menggunakan dalil ayat al-Qurโan, tapi menyatakan secara tegas tentang kewajiban nafkah Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi ushul dan furuโ dalam kitab Fathul al-Muโin, imam al-Hishini menggunakan surat al-lahab untuk dalil nafakah ushul dan furuโ. Dan sunnah-sunnah yang berkaitan dengan hukum pemberian nafkah keluarga yang terdapat dalam berbagai kitab fiqh dan buku-buku Islam. Kata kunci Nafkah Ushul, Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Pendahuluan Perkawinan merupakan suatu hal yang sakral bagi manusia yang perkawinan di antaranya ialah untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia menuju terwujudnya ketenangan dan kenyamanan bagi suami istri serta anggota keluarga. Perkawinan merupakan sunnnatullah yang umum dan berlaku kepada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan, dan perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makluk-Nya untuk berkembang biak, dan melestarikan Karena perkawinan itu dibuat dalam bentuk akad sebab ia peristiwa hukum, bukan peristiwa biologis atau semata hubungan kelamin antara laki-laki dan Namun setelah melangsungkan suatu perkawinan itu tidak boleh lupa dari kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi dalam sebuah keluarga, seperti saling menjaga antara suami dan isteri, saling menghormati, saling menyayangi satu sama lain, yang terlebih utama dalam membina rumah tangga setelah pernikahan yaitu tanggungan terhadap nafkah kepada isteri dan keluarga dari pihak adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, bantuan, dan seluruh kebutuhannya menurut tradisi, karna hukum nafkah adalah suatu kewajiban seorang suami terhadap isterinya dan Jumhur ulama sepakat mengenai kewajiban nafkah, namun mereka berbeda pendapat tentang empat permasalahan, yaitu waktu, kewajibannya, ukurannya, orang yang berhak menerimanya dan yang wajib menerimanya?. Penjelasannya sebagai berikut a. Menurut Imam Malik. 1 Tihami dkk, Fikih Munakahat, Jakarta RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 6. 2 Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih, Jakarta Prenada Media, 2003, hlm. 74. 3 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2001, hlm. 383. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Bahwa ukuran nafkah tidak dibatasi dengan syariโat, dan itu kembali kepada keadaan yang dialami oleh suami dan itu berbeda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan kondisi, dan pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Hanifah tentangkewajiban nafkah. b. Menurut Imam Syafiโi. Berpendapat bahwa nafkah bisa di kira-kira, bagi orang yang memiliki kelapangan, dua mud, bagi orang sedang, satu setengan mud dan bagi orang yang mengalami juga nafkah wajib diberikan kepada istri dan keluarga serta kepada kerabatnya menurut kemampuan yang c. Menurut Imam Hanafi. Bahwa menwajibkan seseorang menafkahi sertiap semuhrim yang ada hubungan darah dengannya, yaitu para saudara, paman atau kerabat sebatas kecukupan, dalam hal ini imam Hanafi menyatakan tidak menjadi utang tentang nafkah kerabat, kecuali hakim memutuskan5. d. Menurut Imam Syafiโi dan Imam Hanafi. Bahwa jumhur ulama, seperti imam Syafiโi dan imam Hanafi telah menwajibkan atas nafkah kekerabatan apabila kekerabatan tersebut semuhrim, bahkan selain semuhrim tidak diwajibkan nafkah, karna imam Syafiโi dan imam Hanafi mengambil dalil dari firman Allah SWT dengan surah Al-Nisaโ 36 Surat Al-Nisaโ 36 ๎๎ฑ๎ถ๎ซ๎๎ถ๎ญ๎๎ด๎ ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎ฆ๎ด๎ถ๎๎๎ด๎ด๎ด๎ค๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ฐ๎ด๎ฃ๎๎ด๎๎ด๎ด๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ฐ๎ด๎๎ธ๎ฎ๎ต๎๎ธ๎๎๎๎ฑ๎ถ๎ฌ๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎ฑ๎๎ง๎๎ด๎ด๎ธ๎ฃ๎ถ๎๎๎ถ๎ฆ๎ธ๎ณ๎ด๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎ฑ๎๎๎ธ๎ด๎ด๎ท๎๎ถ๎ช๎ถ๎๎๎ธ๎๎ฎ๎ต๎๎ถ๎ฎ๎ธ๎ธ๎ต๎๎๎ด๎ป๎ด๎ญ๎๎ด๎ท๎ฏ๎๎ธ๎๎ญ๎ต๎ช๎ต๎๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ด๎ฅ๎๎ด๎๎๎ฆ๎ด๎ฃ๎ ๎๎๎ถ๎ค๎ต๎ณ๎๎ด๎ป๎๎ด๎ท๎ฏ๎๎๎ฅ๎ถ๎๎๎ธ๎ข๎ต๎๎ต๎ง๎๎ด๎ค๎ธ๎ณ๎ด๎๎ ๎ธ๎๎ด๎๎ด๎ ๎ด๎ฃ๎๎๎ด๎ฃ๎ด๎ญ๎๎ถ๎๎ด๎ถ๎๎๎ด๎๎๎๎ถ๎ฆ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎๎จ๎ด๎ ๎๎๎ถ๎๎๎ถ๎๎ถ๎ฃ๎๎๎ผ๎๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎๎ต๎จ๎ต๎ ๎ธ๎๎๎๎ถ๎ญ๎๎ด๎ ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ฐ๎ด๎๎ธ๎ฎ๎ต๎๎ธ๎๎๎๎ฑ๎๎ญ๎ฎ๎ต๎จ๎ด๎๎๎ฑ๎ป๎๎ด๎๎ธ๎จ๎ต๎ฃ๎๎๎ฏ๎๎ด๎จ๎๎๎ผ๎ฟ๎๎Artinya โsembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua-bapa, karib-karibat,anak-anak yatim,orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetengga yang jauh, dan teman sejawat,ibnu sabil,dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diriโโ Al-Nisaโ 36. Namun mengenai nafkah ushul dan furuโ tidak ada dalil atau ayat yang khusus, akan tetapi mazhab Syafiโi meng-istinbatkandasar hukum 4 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid 2, terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman, Jakarta Pustaka Azzam , 2007, hlm. 107. 5 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluargaโฆ, hlm. 431. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi nafkah tersebut dalam kitab Hasyiah Qalyubi wa Humaira berdasarkan ayat Al-Qurโan surah Al-Baqarah ayat ๎๎๎ฆ๎ต๎ฌ๎ต๎๎ธ๎ฏ๎ถ๎ญ๎๎ต๎ช๎ด๎๎๎ถ๎ฉ๎ฎ๎ต๎๎ธ๎ฎ๎ด๎ค๎ธ๎๎๎๎ฐ๎ด๎ ๎๎ด๎ญ๎๎ด๎๎ด๎๎๎ด๎ฟ๎๎ฎ๎๎๎๎๎ข๎ถ๎๎ต๎ณ๎๎ฅ๎ด๎๎๎ด๎ฉ๎๎ด๎ญ๎ด๎๎ ๎ธ๎ฆ๎ด๎ค๎ถ๎๎๎ถ๎ฆ๎ธ๎ด๎ด๎ ๎ถ๎ฃ๎๎ด๎๎๎ถ๎ฆ๎ธ๎ด๎ด๎๎ธ๎ฎ๎ด๎ฃ๎ ๎๎ฆ๎ต๎ซ๎ด๎ฉ๎ด๎ป๎ธ๎ญ๎ด๎๎ ๎ด๎ฆ๎ธ๎๎ถ๎ฟ๎ธ๎ฎ๎ต๎ณ๎ ๎ต๎๎๎ด๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ฐ๎ด๎ ๎ด๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎ฉ๎ถ๎ช๎ด๎๎ด๎ฎ๎ถ๎๎๎ต๎ช๎๎๎๎ฒ๎ฉ๎ฎ๎ต๎๎ธ๎ฎ๎ด๎ฃ๎๎ด๎ป๎ด๎ญ๎๎๎ด๎ซ๎ถ๎ช๎ด๎๎ด๎ฎ๎ถ๎๎๎ฒ๎๎ด๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ญ๎๎๎ญ๎๎ด๎๎ต๎๎๎ด๎ป๎๎๎ด๎ฌ๎ด๎๎ธ๎ณ๎ต๎ญ๎๎๎ป๎ถ๎๎๎ฒ๎ฒ๎ธ๎๎ด๎ง๎ ๎ต๎๎๎ ๎ด๎๎ต๎๎๎ด๎ป๎๎ถ๎๎ญ๎ต๎ฎ๎ธ๎๎ด๎ค๎ธ๎๎๎ถ๎๎๎๎ฆ๎ต๎ฌ๎ต๎๎ด๎ฎ๎ธ๎ด๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎ฅ๎ด๎๎๎ธ๎ข๎๎๎ฉ๎ด๎ญ๎ด๎๎ ๎ธ๎ฅ๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎๎ด๎ค๎ถ๎ฌ๎ธ๎ด๎ด๎ ๎ด๎๎๎ด๎ก๎๎ด๎จ๎ต๎๎๎ด๎ผ๎ด๎๎๎ณ๎ญ๎ต๎ญ๎๎ด๎ธ๎ด๎๎ด๎ญ๎๎๎ด๎ค๎ต๎ฌ๎ธ๎จ๎๎ฃ๎๎ณ๎ฝ๎๎ด๎ฎ๎ด๎๎๎ฆ๎ด๎๎๎ฑ๎ป๎๎ด๎ผ๎ถ๎๎๎๎ด๎ฉ๎๎ด๎ญ๎ด๎๎ ๎ธ๎ฅ๎ถ๎๎ด๎๎๎ด๎๎ถ๎๎ด๎ซ๎๎ต๎๎ธ๎๎ถ๎ฃ๎๎ถ๎๎ถ๎ญ๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎๎๎ด๎ค๎ถ๎๎๎ด๎ท๎ฏ๎๎๎ฅ๎ด๎๎๎ธ๎๎ฎ๎ต๎ค๎ด๎ ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ด๎ท๎ฏ๎๎ธ๎๎ฎ๎ต๎๎๎๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎๎ญ๎ต๎ฎ๎ธ๎๎ด๎ค๎ธ๎๎๎ถ๎๎๎ข๎ต๎๎ธ๎ด๎ด๎๎๎๎๎๎ฃ๎๎ข๎ต๎๎ธ๎ค๎๎ ๎ด๎ณ๎๎๎ด๎ซ๎ถ๎๎๎ธ๎ข๎ต๎๎ธ๎ด๎ด๎ ๎ด๎๎๎ด๎ก๎๎ด๎จ๎ต๎๎๎ด๎ผ๎ด๎๎๎ธ๎ข๎ต๎๎ด๎ฉ๎ด๎ป๎ธ๎ญ๎ด๎๎๎ธ๎๎ฎ๎ต๎๎ถ๎ฟ๎ธ๎ฎ๎ด๎๎ธ๎ด๎ด๎๎๎ฒ๎ฎ๎ด๎ถ๎ผ๎ด๎๎ ๎ด๎ฅ๎ฎ๎ต๎ ๎ด๎ค๎ธ๎๎ด๎๎๎๎ฎ๎๎๎๎๎๎ป๎ผ๎ผ๎ Artinya; Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi nafkah makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan Al-Baqarah Ayat Dalam hal ini jumhur menetapkan kewajiban akannafkah kepada kekerabatan atau keluarga. Tetapi dalam pemberian nafkah itu terutama sekali kepada istri dan anak, walaupun istri tersebut beriddah yang masih boleh dalam beberapa kitab Fiqh itu dibedakan selain nafkah istri dan anakyang wajib diberikan yaitu nafkah kepada orang tua, bapak, kakek, nenek, ibu dan seterusnya ke atas yang dikenal dengan istilah dalam kitab Fiqh disebut nafkah itu, juga wajib diberikan kepada anak, cucu dan seterusnya ke bawah, yang dengan kitab Fiqh disebut dengan nafkah furuโ.9 6 Qalyubi-โUmairah, Hasyitanโala Syarh al-Mahalli โala Minhฤjal-Thฤlibฤฉn Juzuk Keempat, Solo Manara Kudus, 1976, hlm 85. 7 Ihsan Sikhaq Muhammad, Qurโan dan Terjemahan. Jakarta Cahaya Qurโan, 2011, hlm. 37. 8 Syekh Abu Syujaโ, Matnul Ghayah Wat Tagrib,Cet. Kedua, terj. Mahmud Zaini, Jakarta Pustaka Amani, 2011, hlm. 104. 9 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinahโฆ, hlm. 624. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Tetapi sekarang persoalan nafkah itu menjadi persoalan besar dalam kehidupan, sehingga banyak orang tidak memperdulikan tentang hak dan kewajiban memberi nafkah tersebut dalam keluarga, padahal dalam kitab-kitab Fiqh telah ditetapkan kewajiban bagi laki-laki yang mampu untuk memberikan nafkah kepada kerabatnya. Dasar Hukum Nafkah Ushul Dan Furuโ Secara Umum Dalam hal ini penulis menggambarkan hukum secara umum tentang nafakah ushul dan furuโ yang telah disebutkan dalam kitab-kitab fiqh oleh mazhab Syafiโi Persoalan tentang nafkah. Surat An-Nisaโ 36. ๎๎ฑ๎ถ๎ซ๎๎ถ๎ญ๎๎ด๎ ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎ฆ๎ด๎ถ๎๎๎ด๎ด๎ด๎ค๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ฐ๎ด๎ฃ๎๎ด๎๎ด๎ด๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ฐ๎ด๎๎ธ๎ฎ๎ต๎๎ธ๎๎๎๎ฑ๎ถ๎ฌ๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎ฑ๎๎ง๎๎ด๎ด๎ธ๎ฃ๎ถ๎๎๎ถ๎ฆ๎ธ๎ณ๎ด๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎ฑ๎๎๎ธ๎ด๎ด๎ท๎๎ถ๎ช๎ถ๎๎๎ธ๎๎ฎ๎ต๎๎ถ๎ฎ๎ธ๎ธ๎ต๎๎๎ด๎ป๎ด๎ญ๎๎ด๎ท๎ฏ๎๎ธ๎๎ญ๎ต๎ช๎ต๎๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ด๎ฅ๎๎ด๎๎๎ฆ๎ด๎ฃ๎ ๎๎๎ถ๎ค๎ต๎ณ๎๎ด๎ป๎๎ด๎ท๎ฏ๎๎๎ฅ๎ถ๎๎๎ธ๎ข๎ต๎๎ต๎ง๎๎ด๎ค๎ธ๎ณ๎ด๎๎ ๎ธ๎๎ด๎๎ด๎ ๎ด๎ฃ๎๎๎ด๎ฃ๎ด๎ญ๎๎ถ๎๎ด๎ถ๎๎๎ด๎๎๎๎ถ๎ฆ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎๎จ๎ด๎ ๎๎๎ถ๎๎๎ถ๎๎ถ๎ฃ๎๎๎ผ๎๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎๎ต๎จ๎ต๎ ๎ธ๎๎๎๎ถ๎ญ๎๎ด๎ ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ฐ๎ด๎๎ธ๎ฎ๎ต๎๎ธ๎๎๎๎ฑ๎๎ญ๎ฎ๎ต๎จ๎ด๎๎๎ฑ๎ป๎๎ด๎๎ธ๎จ๎ต๎ฃ๎๎ฏ๎๎ด๎จ๎๎๎๎ผ๎ฟ๎ Artinya โsembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang tua-bapa, karib-karibat,anak-anak yatim,orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetengga yang jauh, dan teman sejawat,ibnu sabil,dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diriโโ An-Nisaโ 36 .10 Surat Al-baqarah ayat 233. ๎๎๎ฆ๎ต๎ฌ๎ต๎๎ธ๎ฏ๎ถ๎ญ๎๎ต๎ช๎ด๎๎๎ถ๎ฉ๎ฎ๎ต๎๎ธ๎ฎ๎ด๎ค๎ธ๎๎๎๎ฐ๎ด๎ ๎๎ด๎ญ๎๎ด๎๎ด๎๎๎ด๎ฟ๎๎ฎ๎๎๎๎๎ข๎ถ๎๎ต๎ณ๎๎ฅ๎ด๎๎๎ด๎ฉ๎๎ด๎ญ๎ด๎๎ ๎ธ๎ฆ๎ด๎ค๎ถ๎๎๎ถ๎ฆ๎ธ๎ด๎ด๎ ๎ถ๎ฃ๎๎ด๎๎๎ถ๎ฆ๎ธ๎ด๎ด๎๎ธ๎ฎ๎ด๎ฃ๎ ๎๎ฆ๎ต๎ซ๎ด๎ฉ๎ด๎ป๎ธ๎ญ๎ด๎๎ ๎ด๎ฆ๎ธ๎๎ถ๎ฟ๎ธ๎ฎ๎ต๎ณ๎ ๎ต๎๎๎ด๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ฐ๎ด๎ ๎ด๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎ฉ๎ถ๎ช๎ด๎๎ด๎ฎ๎ถ๎๎๎ต๎ช๎๎๎๎ฒ๎ฉ๎ฎ๎ต๎๎ธ๎ฎ๎ด๎ฃ๎๎ด๎ป๎ด๎ญ๎๎๎ด๎ซ๎ถ๎ช๎ด๎๎ด๎ฎ๎ถ๎๎๎ฒ๎๎ด๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ญ๎๎๎ญ๎๎ด๎๎ต๎๎๎ด๎ป๎๎๎ด๎ฌ๎ด๎๎ธ๎ณ๎ต๎ญ๎๎๎ป๎ถ๎๎๎ฒ๎ฒ๎ธ๎๎ด๎ง๎ ๎ต๎๎๎ ๎ด๎๎ต๎๎๎ด๎ป๎๎ถ๎๎ญ๎ต๎ฎ๎ธ๎๎ด๎ค๎ธ๎๎๎ถ๎๎๎๎ฆ๎ต๎ฌ๎ต๎๎ด๎ฎ๎ธ๎ด๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎ฅ๎ด๎๎๎ธ๎ข๎๎๎ฉ๎ด๎ญ๎ด๎๎ ๎ธ๎ฅ๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎๎ด๎ค๎ถ๎ฌ๎ธ๎ด๎ด๎ ๎ด๎๎๎ด๎ก๎๎ด๎จ๎ต๎๎๎ด๎ผ๎ด๎๎๎ณ๎ญ๎ต๎ญ๎๎ด๎ธ๎ด๎๎ด๎ญ๎๎๎ด๎ค๎ต๎ฌ๎ธ๎จ๎๎ฃ๎๎ณ๎ฝ๎๎ด๎ฎ๎ด๎๎๎ฆ๎ด๎๎๎ฑ๎ป๎๎ด๎ผ๎ถ๎๎๎๎ด๎ฉ๎๎ด๎ญ๎ด๎๎ ๎ธ๎ฅ๎ถ๎๎ด๎๎๎ด๎๎ถ๎๎ด๎ซ๎๎ต๎๎ธ๎๎ถ๎ฃ๎๎ถ๎๎ถ๎ญ๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎๎๎ด๎ค๎ถ๎๎๎ด๎ท๎ฏ๎๎๎ฅ๎ด๎๎๎ธ๎๎ฎ๎ต๎ค๎ด๎ ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ด๎ท๎ฏ๎๎ธ๎๎ฎ๎ต๎๎๎๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎๎ญ๎ต๎ฎ๎ธ๎๎ด๎ค๎ธ๎๎๎ถ๎๎๎ข๎ต๎๎ธ๎ด๎ด๎๎๎๎๎๎ฃ๎๎ข๎ต๎๎ธ๎ค๎๎ ๎ด๎ณ๎๎๎ด๎ซ๎ถ๎๎๎ธ๎ข๎ต๎๎ธ๎ด๎ด๎ ๎ด๎๎๎ด๎ก๎๎ด๎จ๎ต๎๎๎ด๎ผ๎ด๎๎๎ธ๎ข๎ต๎๎ด๎ฉ๎ด๎ป๎ธ๎ญ๎ด๎๎๎ธ๎๎ฎ๎ต๎๎ถ๎ฟ๎ธ๎ฎ๎ด๎๎ธ๎ด๎ด๎๎๎ฒ๎ฎ๎ด๎ถ๎ผ๎ด๎๎ ๎ด๎ฅ๎ฎ๎ต๎ ๎ด๎ค๎ธ๎๎ด๎๎๎๎ฎ๎๎๎๎๎๎ป๎ผ๎ผ Artinya; Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi nafkah makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan 10 Fadhal AR Bafadal, dkk,Syamil Qurโan dan terjemahanya, Bandung PT. Syaamil Cipta Media 2004,, hlm. 84. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan Al-Baqarah Ayat 233.11 Surat ath-thalaaq ayat 7 ๎๎๎ด๎ซ๎๎ด๎๎๎๎๎ด๎ฃ๎ ๎๎ป๎ถ๎๎๎ฑ๎๎ด๎ธ๎๎ด๎ง๎๎ต๎๎ฏ๎ ๎ต๎๎๎ ๎ด๎๎ต๎ณ๎ ๎ด๎ป๎๎ต๎๎ฏ๎๎ต๎ฉ๎๎ด๎๎๎๎๎๎ค๎ถ๎ฃ๎๎ธ๎๎ถ๎๎จ๎ต๎ด๎ธ๎ ๎ด๎๎๎ต๎ช๎ต๎๎ธ๎ฏ๎ถ๎ญ๎๎ถ๎ช๎ธ๎ด๎ด๎ ๎ด๎๎๎ด๎ญ๎ถ๎ช๎ต๎๎๎ฆ๎ด๎ฃ๎ด๎ญ๎๎ถ๎ช๎ถ๎๎ด๎๎ด๎ณ๎๎ฆ๎๎ฃ๎๎ณ๎๎ด๎๎ด๎ณ๎๎ญ๎ต๎ซ๎๎ธ๎๎ถ๎๎จ๎ต๎ด๎ถ๎๎๎ฑ๎๎ฎ๎ธ๎ด๎ต๎ณ๎๎ณ๎ฎ๎ธ๎ด๎ต๎๎๎ด๎ช๎ธ๎๎ด๎๎๎ต๎๎ฏ๎๎ต๎๎ด๎๎ธ๎ ๎ด๎ด๎ด๎ณ๎๎๎ผ๎๎๎๎๎๎ Artinya Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memeberikan kelapangan setelah kesempitan.ath-Thalaaq ayat 712 Dari kesimpulan di atas mazhab Syafiโi dan jumhur ulama lainya, yaitu imam Maliki, imam Hanafi dan imam Hambali mengambil beberapa ayat yang ada dalam surat al-Qurโan yang menyangkut tentang nafkah secara umum kepada kerabat, dan hal ini terdapat di dalam kitab fiqh karangan Wahbah Az-Zuhaili yaitu fikih Islam Wa Adillatuhu jiliz 10, dan buku terjemahan dari fiqh karangan Abdul Majid Mahmud Mathlub, al-Wajiz fi Ahkam al-Usrah al-Islamiah. Hak dan Kewajiban dalam Nafkah Pengerian Nafkah merupakan belanja untuk hidup atau pendapatan suami yang harus diberikan kepada Nafkah juga merupakan kewajiban pokok bagi suami terhadap isteri yang harus diberikan baik berupa makanan, pakaian, maupun tempat tinggal bersama. Sebab nafkah tersebut kewajiban yang harus diberikan kepada orang yang berhak Karna nafkah adalah pemberian dari suami kepada isteri dan anak-anaknya sebagai tanggung jawab dalam keluarga. 1. Sebab-sebab yang mewajibkan nafkah a. Sebab keturunan. 11 Ihsan Sikhaq Muhammad, Qurโan dan Terjemahan, hlm. 37. 12 Fadhal AR Bafadal, dkk,Syamil Qurโan dan terjemahanya, hlm. 558. 13 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa IndonesiaPusat Bahasa, Edisi Keempatโฆ,hlm 940 14 Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajud Muslimโฆ, hlm. 618. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Bapak atau ibu, berkewajiban untuk memberi nafkah kepada anaknya beserta kepada cucunya yang tidak mempunyai ayah lagi. b. Sebab pernikahan. Suami wajib memberi nafkah kepada isterinya yang taat, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, perkakas rumah tangga dan lain-lain menurut keadaan dan tempat tinggal isterinya. c. Sebab milik. Seorang yang memiliki budak maka wajib memberikan makan tempat tinggal kepada budak tersebut, dan dia wajib menjaganya jangan sampai diberikan beban lebih dari Dalam hal nafkah fuqahapun sependapat bahwa nafkah itu wajib atas suami yang merdeka dan berada di tempat. Kemudian mereka berselih pendapat tentang hamba sahaya dan orang yang berpergian. Mengenai hamba sahaya, Ibnu Mundzir mengatakan bahwa para ahli ilmu yang menyampaikan riwayat kepadanya bahwa suami yang berstatus hamba sahaya wajib memberikan nafkah untuk isterinya, dan juga suami yang berpergian jauh, jumhur fuqaha berpendapat bahwa ia wajib memberi Syarat seorang isteri yang berhak menerima nafkah dalam hukum islam adalah sebagai berikut a. Akad nikahnya harus sah dan benar. b. Istri harus menyerahkan diri kepada suaminya. c. Istri memberi kesempatan kepada suaminya untuk menggaulinya d. Isteri tidak menolak jika suami mengajak pindah ke mana saja yang ia mau. e. Istri layak dan bisa digauli oleh suaminya itu. Dan apabila syarat-syarat terpenuhi di atas, maka suami berhak memberikan nafkah terhadap isterinya. Di mana tidak ada perbedaan pendapat mengenai masalah hak istri dalam menerima nafkah dari suaminya tersebut, kecuali hamba sahaya. Bahkan Allah SWT telah mewajibkan nafkah dengan firman-Nya di dalam al-Qurโan dengan surat Al-Nisa ayat 5. 15 Sulaiman Rasjid, Figh Islam, Bandung Sinar Baru Algensindo, 2012, hlm. 421-422. 16 Ibnu Rusyd,Bidayatul Mujtahid 2, terj. Abu Usamah Fakhtur Rokhman, hlm. 522. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi โ berikanlah mereka belanja dan pakaian dari hasil harta itu.โ Al-Nisaโ ayat 5. Demikian juga hadist Rasulullah, di mana beliau pernah memberikan izin kepada Hindun binti โUtsbah untuk mengabil harta suaminya, Abu Sofyan, untuk mencukupi kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya dengan cara yang maโruf. Berdasarkan sabda Rasulullah Saw sebagai berikut ๎๎๎๎๎ฑ๎ฎ๎ด๎ธ๎๎๎๎๎ช๎ณ๎ญ๎๎๎ฃ๎๎ฆ๎๎๎๎๎ ๎๎๎๎๎๎๎๎ฎ๎ช๎ด๎ ๎๎๎๎ง๎ช๎ฃ๎๎๎ช๎๎ญ๎ฏ๎๎๎ฃ๎๎ฃ๎๎ฏ๎๎๎ฎ๎ณ๎ญ๎๎๎ณ๎๎๎๎ค๎๎ฃ๎๎๎ซ๎๎๎๎ฌ๎ค๎๎๎๎๎๎ ๎๎ด๎ด๎๎๎๎๎๎ซ๎๎๎๎ซ๎๎ฎ๎ด๎๎๎๎๎๎ด๎๎๎๎๎ฒ๎๎๎ป๎๎๎ฎ๎ ๎ฌ๎๎ป๎ญ๎๎ข๎๎๎๎๎ป๎ญ๎๎ช๎๎ฎ๎๎๎๎๎ฎ๎๎๎๎ป๎ญ๎๎๎๎๎ฉ๎ญ๎๎ฉ๎๎ฎ๎๎๎๎ฉ๎๎ญ๎ญ๎ ๎Artinya Diriwayadkan oleh Muwwiyah al-Qusyairi, dia berkata, โ saya berkata, โWahai Rasulullah, apa hak isteri-isteri kami?โ Maka Rasulullah SAW menjawab, โKamu cukupi kebutuhan makannya jika makan, kamu cukupi kebutuhan pakaiannya jika kamu berpakaian atau jika kamu mendapatkan sesuatu. Jangan kamu memukul wajahnya, jangan mencelanya, jangan kamu meninggalkannya pisah ranjang kecuali di rumah. dari Abu Dawud, No Hadist 2141.17 Dalam hal pemberian nafkah menurut Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah yang diambil di dalam kitab Al-Musawi disebutkan bahwa memberi nafkah bagi suami kepada isterinya merupakan hal yang diwajibkan, baik dalam keadaan sulit maupun dalam keadaan Nafkah Ushul an Furuโ Menurut Kitab Hasyiatani Qalyubi-Umairah Kitab ini merupakan buah karya Syihabuddin Abu al-โAbbas Ahmad bin Salamah al-Qalyubi gelarnya yang dikenal dengan al-Qalyubi karena dinisbatkan kepada asal daerahnya yaitu Qalyub. Al-Qalyubi ulama yang mempunyai kemampuan dalam bidang fiqh dan ushul fiqh, dan al-Qalyubi karyanya banyak berbentuk hasyiah, al-Qalyubi lahir di Kota Qalyub di Negeri Mesir dan wafat W 1069 H. Salah satu kitab yang sangat dikenal di Indonesia adalah hasyiatan Qalyubi-โUmaira terhadap syarah al-Mahalli atas Minhฤj al-Thalibฤฉn karya al-Nawawi yang banyak di pelajari pada dayah-dayah di Indonesia, karena hasyiatan al-Qalyubi lebih banyak mengandung isi penjelasan, beliau banyak mengumpulkan keterangan-keterangan dari berbagai kitab hasyiah yang lain. Dan karya-karya lain al-Qalyubi yaitu 17 Muhammad Nashiruddin al-Abani, terj. Tajuddin Arief, Shahih Sunan Abu Dawud, Jakarta Pustaka Azzam, 2006, hlm. 828. 18 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Figh Wanita, Jakarta Pustaka Al-Kausar, 2008, hlm. 480-481. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Hasyiah โala Syarh al-Jurumiyah, Hasyiah Syarh Thฤhir, Majmuโ al-Muhibbฤฉn, Tazkirah al-Qalyubi, Hasyiatan al-Qalyubi dari Mahalli. 19 Adapun ketentuan mengenai pemberian nafkah ushul dan furuโ menurut al-Qalyubi yaitu Seorang anak mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada orang tuanya yaitu ayah dan ibunya baik ia anak laki-laki atau perempuan. Apabila anak laki-laki yang sudah menikah di samping ia menafkahi isteri dan anaknya, ia juga diharuskan untuk menafkahi kedua orang tua selama mereka masih hidup. Memang pada dasarnya tidak ada dalil al-Qurโan maupun hadist yang menyebutkan secara explisit tentang kewajiban menafkahi ayah atau ibu. Akan tetapi Imam al-Qalyubi dengan cara mengqiyaskan dasar hukum kewajiban pemberian nafkah kepada istri dan anak, dan kewajiban seorang anak memberi nafkah kepada ayah dan ibunya dari Surat al-Baqarah ayat 233 seperti tercantum dalam kitab hasyiatan Qalyubi-โUmairah di bawah ini ๎๎ช๎ฃ๎ฐ๎ ๎ณ๎๎๎๎ฐ๎๎ง๎๎๎ญ๎๎๎ฅ๎๎๎๎๎ฎ๎๎ซ๎๎บ๎จ๎ธ๎๎๎๎ฑ๎๎๎๎๎ง๎๎ผ๎๎๎ฅ๎๎ญ๎๎ช๎๎๎ฎ๎๎๎๎๎๎๎ฐ๎๎ง๎๎๎ญ๎๎๎๎ฎ๎๎ซ๎๎ฆ๎ฃ๎๎๎๎ณ๎๎ฅ๎๎ญ๎๎ช๎๎ฎ๎๎๎ญ๎๎๎๎ฐ๎๎๎๎๎๎ช๎๎ฎ๎๎๎ฒ๎ง๎๎๎๎๎๎ฒ๎๎๎๎ป๎ท๎๎ญ๎๎ฐ๎๎ง๎๎๎ญ๎๎๎๎ฎ๎๎ซ๎๎ฆ๎ฃ๎๎๎๎๎๎ฆ๎ต๎ฌ๎ต๎๎ด๎ฎ๎ธ๎ด๎ถ๎๎ด๎ญ๎ ๎๎ฆ๎ต๎ฌ๎ต๎๎ธ๎ฏ๎ถ๎ญ๎๎ต๎ช๎ด๎๎๎ถ๎ฉ๎ฎ๎ต๎๎ธ๎ฎ๎ด๎ค๎ธ๎๎๎๎ฐ๎ด๎ ๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎๎ญ๎ต๎ฎ๎ธ๎๎ด๎ค๎ธ๎๎๎ถ๎๎๎๎๎๎๎๎ฎ๎๎๎๎๎๎ป๎ผ๎ผ๎๎๎ฒ๎๎๎๎๎๎๎๎ฃ๎๎ ๎๎๎ช๎ด๎ ๎๎๎๎ญ๎ท๎๎๎ฒ๎ด๎๎ญ๎๎๎ฃ๎ฎ๎ฃ๎๎ฅ๎ท๎๎ฐ๎๎ญ๎๎๎ฎ๎ซ๎๎๎๎๎๎ช๎๎๎ฎ๎๎๎ ๎ข๎๎๎๎๎๎ญ๎ช๎จ๎๎๎ญ๎๎ช๎ฌ๎๎๎๎๎๎๎ช๎๎๎ฎ๎๎๎๎ด๎๎๎๎๎ฃ๎ Artinya kewajiban bagi seorang anak laki-laki atau anak perempuan wajib memberi nafakah kepada ayah dan ibunya sampai seterusnya ke atas, dan kewajiban seorang ayah dan ibu juga wajib memeberikan nafakah kepada anaknya sampai seterusnya ke bawah. Berdasarkan surat al-Baqarah 233 yang artinya โ dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang maโruf. Dan diqiyaskan pada yang pertama tentang memberi nafkah kepada orang tua, karena nafkah kepada orang tua itu lebih aula. Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 233 tersebut di atas, imam al-Qalyubi mengqiyaskan hukum pemberian nafkah kepada istri dan anak, apabila seseorang ayah berkewajiban memberi nafkah kepada anak, maka dia seorang anak juga wajib memberi nafkah kepada ayah dan ibunya dengan โillah ada hubungan antara anak dan ayah yaitu, anak bagian dari pada ayah dan ayah bagian dari pada anak. Bahkan memberi nafkah kepada ayah dan ibu lebih diutamakan, karena menjaga kehormatan ayah 19 Muhammad Abdul Wahab, Rumah Figh Indonesia, diakses dari situs http //rumahFigh net/Maktabah, Hasyiah-Qalyubi wa Humairah. pada tanggal 23 Desember 2016. Jam 930 Wib. 20 Qalyubi-โUmairah, Hasyiatan โala Syarh al-Mahalli โala Minhฤj al-ลคhalibฤฉn Juzuk Keempat, Solo Manara Kudus, 1976, hlm 85 Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi itu lebih mulia daripada anak qiyฤs ini dinamakan qiyฤs aulawi dan seorang anak lebih bersungguh-sungguh menjaga kehormatan ayah. Qiyas menurut istilah ilmu ushul fiqh yaitu mempersamakan suatu kasus yang tidak ada dalam nash dan dalil hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash/dalil hukumnya. Qiyas merupakan suatu metode dalam menerangkan hukum yang tidak ada nashnya dalam al-Qurโan dan hadist dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Dimana qiyas itu merupakan cara yang ke empat dalam hukum, setelah al-Qurโan, Hadist, dan Ijmak. Apabila ada suatu kasus yang tidak terdapat dalil dalam al-Qurโan, Hadist, dan Ijmak, maka kasus tersebut harus diproses dengan jalan qiyas dengan menyamakan kasus tersebut dengan kasus yang sudah ada nashnya berdasarkan atas persamaan โillah nya. Qiyas dapat menjadi pondasi atau pijakan sebuah hukum. Adapun rukun-rukun qiyas ada empat 4 yaitu 1. Al-Ashl yaitu suatu hukum yang ada nashnya/hukumnya, atau biasa juga disebut juga dengan kata al-Mฤqis โalฤih yang diqiyaskan kepadanya dan al-Mahmศl alaih yang dijadikan pertanggungan dan Musyabbah bih yang diserupakan dengannya. 2. Al-Farโuโyaitu suatu yang tidak ada nash/dalilnya, disebut dengan al-Mฤqis yang diqiyaskan al-Mahmศl yang dipertanggungkan dan al-Musyabbah bih yang diserupakan dengannya. 3. Hukum ashl yaitu hukum yang telah ada nashnya dan dijadikan sebagai hukum pada furuโ 4. Al-โIllah yaitu suatu sifat yang dijadikan dasar untuk membentuk hukum pokok dan berdasarkan sifat itu terjadinya hukum pada cabang, maka disamakan dengan pokok ashal dari segi hukumnya. Dari penjelasan qiyas tersebut diatas, maka hukum menafkahi ayah dan ibu selain dari nafkah anak beserta isteri dapat disimpulkan bahwa 1. Al-Ashl yaitu nafkah yang harus diberikan kepada isteri dan anak 2. Al-Farโu yaitu nafkah yang harus diberikan kepada ayah dan ibu 3. โIllah anak adalah keturunan dari ayah.21 Nafkah Ushul Dan Furuโ Menurut Kitab Fathul al-Muโin Kitab ini merupakan buah karya Syaikh Zainuddin al-Malibary. Nama lengkap beliau asy-Syaikh Zainuddin Ibnusy Syaikh Abdul Aziz al-โSalamah asy-Syeikh Zainuddin Muallif Hidฤyah al- Azdkiyaโ Ilโa 21 Abdul Wahhab Kallaf, Ilmu Ushul Figh, Semarang Dina Utama, 1994, hlm. 65-66. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Thariqil Auliaโ Ibnusy Syaikh Ali Ibnu Syaikhi Acmad asy-Syafiโi al-Malibary Zainuddin al-Malibari merupakan ulama yang dilahirkan di Kosyan daerah Malabar Pakistan, India Selatan. Tidak diketahui secara persis, kapan Syaikh Zainuddin al-Malibari lahir. Bahkan tentang taggal dan tahun wafatnya pun muncul berbagai pendapat. Beliau diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 970-990 H, dan di makamkan di pinggiran kota Ponani, India. Tepatnya terletak di samping masjid Agung Ponani. Beliau adalah cucu dari Syaikh Zainuddin bin Ali pengarang kitab Hidฤyah al-Adzkiya', Syaikh Zainuddin al-Malibari telah terdidik oleh keluarga agamis, selain sekolah di al-Madrasah yang didirikan oleh kakek beliau. Dan Syaikh Zainuddin al-Malibari berguru kepada beberapa Ulama Arab, termasuknya adalah Ibnu Hajar al-Haitami wafat pada tahun 974 H. Karangan-karangan Syaikh al-Malibari adalah Al Istiโdad lil Maut Wa suโal al-Qubur Aqidah, Qurrah al-โAฤฉn bi Muhimmati ad-din Fiqh, kitab matan Fathul Muโin, Fathul Muโin fi Syarh qurrah al-โAฤฉn Fiqh, yang dikomentari oleh Syaikh Sayyid Muhammad Syathaโ Ad Dimyati dengan nama kitab Iโฤnah al-ลคhalibฤฉn. Syeikh Zainuddin al-Malibari dikenal sebagai ulama fikih yang mengikuti madzhab Syafi' Adapun ketentuan mengenai nafkah ushul dan furuโ yang terdapat dalam kitab Fathul al-Muโin menurut Syaikh Zainuddin al-Malibari adalah nafkah segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, bantuan, dan seluruh kebutuhannya menurut tradisi. Hubungan kekerabatan adalah penyebab diwajibkannya memberi nafkah antara kerabat. Hubungan kekerabatan yang mewajibkan nafkah ada dua macam yaitu kekerabatan antara ushศl dan al-farโuโ. Maksud ushศl di sini adalah seluruh orang tua, dimulai dari para bapak, ibu, kakek, nenek, buyut dan sterusnya ke atas. Maksud al- farโu disini adalah para anak, cucu, dan seterusnya ke ๎ Untuk lebih jelas penulis mengutip penjelasan di dalam kitab Fathul al-Muโin sebagai berikut 22 Aliy Asโad, Terjemahan Fathul Muโin, Jilid 1, Kudus Manara Kudus, 1400 H/1980 M, hlm XIX. 23 Inu Kencana Syafie, Ensiklopedia Manusia Terpopuler, Memuat lebih Dari Tokoh Dunia Terkemuka, Cet. Pertama, Bandung Pustaka Reka Cipta, 2011, hlm 1023. 24 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al-Wajiz fฤฉ Ahkam Al-Usrah Al-Islamiyah, Harit Fadly dan Ahmad Khotib Tej, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Era Intermedia, 2005, hlm. 616-617. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi ๎๎๎ช๎ง๎ฎ๎ค๎ฃ๎๎๎ฎ๎๎ญ๎๎ช๎๎ฎ๎๎๎ฆ๎๎๎๎๎๎๎๎ค๎๎๎ช๎๎๎๎ด๎ ๎ณ๎๎๎ด๎๎๎๎ฎ๎๎ญ๎๎ฐ๎๎ง๎๎ญ๎๎๎ฎ๎๎ซ๎๎ฎ๎ณ๎ฎ๎ฃ๎๎ฐ๎ ๎๎๎๎ ๎ณ๎ฑ๎๎ช๎๎ ๎ด๎๎ญ๎๎ช๎ฃ๎ญ ๎ช๎จ๎ณ๎ฉ๎๎ฆ๎๎๎๎๎๎ณ๎๎ข๎๎๎ฅ๎๎ญ๎๎๎๎๎๎ฐ๎๎ง๎๎๎ญ๎๎๎๎ฎ๎๎ซ๎๎ผ๎๎๎ฅ๎๎ญ๎๎๎ป๎ท๎๎ฏ๎๎ญ๎ฉ๎ญ๎๎ฉ๎๎๎๎ฃ๎๎๎ฎ๎ด๎๎ญ๎๎๎๎๎ง๎๎๎ณ๎๎๎๎ฅ๎๎ญ๎๎๎ฎ๎๎ญ๎๎๎ฌ๎๎๎๎ฐ๎ง๎๎๎๎ซ๎๎๎ ๎ค๎ณ๎๎ข๎๎๎๎ซ๎๎๎๎๎จ๎ณ๎ฉ๎๎๎๎ ๎๎ง๎๎๎ฅ๎๎ญ๎๎Artinya kewajiban anak laki-laki ataupun perempuan apabila mempunyai kekayaan walaupun dari hasil kerja ia dapatkan, yang telah melebihi dari biaya hidup dirinya sendiri dan orang tanggungannya selama sehari semalam, walaupun belum lebih dari perhitungan tanggungan hutangnya adalah wajib baginya untuk mencukupi kebutuhan pakaian, makanan dan obat-obatan kepada orang tuanya keatas, baik laki-laki maupun perempuan dengan demikian pun orang keturunannya hingga ke ke bawah, bilamana dua macam ini tidak memilki kecukupan dalamhal tersebut, maka sekalipun orang tua atau keturunannya itu berbeda agama. Dan tidak menjadi wajib atau hilangnya kewajiban untuk memberi nafkah, apabila salah seorang tua atau keturunannya murtad, dalam syarah al-Irsyad, juga tidak diwajibkan jika ia berbuat zina muhsan atau meninggalkan shalat. Di dalam syarah al-Minhaj juga menyatakan tidak wajib, orang keturunan itu telah mencapai usia baliq dan tidak mau bekerja yang patut bagi dirinya. Menurut Syaikh Zainuddin, barang siapa yang masih memiliki orang tua dan keturunan, maka nafkah orang tua menjadi tanggungan dari pada keturunannya kebawah. Dan jika seseorang masih mempunyai ayah dan ibu atau saudara yang membutuhkan nafkah, sedangkan ia sendiri tidak mampu untuk mencukupi semua, maka ia boleh untuk mendahulukan dirinya sendiri, isteri dan Selain itu, kerabat yang diwajibkan untuk dinafkahi adalah kerabat yang diharamkan menikah senasab. Jadi, diwajibkan nafkah antara kerabat apabila mereka mempunyai hubungan senasab, sedangkan yang tidak senasab tidak diwajibkan untuk memberikan nafkah. Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Kitab Kifฤtul al-Akhyฤr Kitab ini merupakan buah karya Abu Bakar bin 'Abdul Muhammad bin Muโmin Hariz Bin Maโalla at-Taqiy al-Husaini al-Hishni. Beliau yang lebih dikenal sebagai Imam Taqiyuddin al-Hishni adalah seorang ulama besar dan ahli sufi bermazhab Syafi`i serta berpegang kepada i'tiqad Imam Abul Hasan 'Ali al-Asy'ari. Beliau 25 Syaikh Zainuddin, Fathul Muโin, Jilid. 3, Aliy Asโad Tej, Menara Kudus, 1979, hlm. 242-244. 26 Aliy Asโad, Tej Fathul al-Muโin, Kudus Manara Kudus, 1979, hlm. 242. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi dilahirkan dalam tahun 752 H di Kota al-Hishn dalam negeri Syam kemudian berpindah ke Kota Dimasyq di mana beliau meneruskan pengajiannya, Di antara guru-gurunya ialah Syaikh Abul 'Abbas Najmuddin Ahmad bin 'Utsman bin 'Isa al-Jaabi, Syaikh Syamsuddin Muhammad bin Sulaiman ash-Sharkhadi, Syaikh Syarafuddin Mahmud bin Muhammad bin Ahmad al-Bakri, Syaikh Syihaabuddin Ahmad bin Shaleh az-Zuhri, Syaikh Badruddin Muhammad bin Ahmad bin 'Isa, Syaikh Syarafuddin 'Isa bin 'Utsman bin 'Isa al-Ghazi, Syaikh Shadruddin Sulaiman bin Yusuf al-Yaasufi. Karya-karya imam Taqiyuddin al-Hishini, Syฤrh Asmaullฤh al-Hศsnฤ, Ta'lฤฉq al-Hฤdits al-Ihyฤ, Syฤrh an-Nihฤyฤh, Talkhฤฉsh al-Mศhimmฤat 2 jilid, Qami`un Nufศus, al-Asbฤabul Muhliฤat dan kifฤtul Akhyฤr fฤฉ hฤll Rฤyatศl แธญkhtisฤr. Beliau terkenal bukan saja kerana ketinggian ilmunya, bahkan kerana kewaliannya, dan beliau wafat pada tahun 829 H dan dikebumikan di Dimasq..27 Adapun ketentuan mengenai nafkah ushul dan furuโ yang terdapat dalam kitab Kifatul al-Akhyar menurut imam al-Hishini adalah nafkah seorang anak kepada orang tuanya merupakan wajib dipenuhi oleh anaknya apabila seorang anak tersebut mempunyai kemampuan terhadap harta yang dia milki. Adapun yang menjadi pijakan hukum yang terdapat dalam kitab kifฤtul Akhyฤr fฤฉ hฤlli Rฤyatศl แธญkhtisฤr di bawah ini ๎๎ฎ๎๎๎๎๎ญ๎๎๎ง๎๎ฃ๎ฐ๎๎๎ญ๎๎ฎ๎๎๎ธ๎๎๎๎ถ๎ฆ๎ธ๎ด๎ด๎๎ธ๎ฎ๎ด๎ธ๎ถ๎๎๎ข๎ฌ๎๎ด๎๎ด๎๎ด๎ง๎๎๎ ๎๎ด๎๎๎ฅ๎ญ๎ช๎๎๎ฎ๎๎๎๎๎ฃ๎ด๎๎ด๎๎๎ฆ๎ณ๎ฉ๎ฎ๎๎ฎ๎ค๎๎๎ญ๎๎ฆ๎ณ๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ฎ๎ธ๎ ๎๎๎๎ด๎๎ถ๎๎๎ด๎ญ๎๎๎ธ๎ซ๎ด๎ธ๎ท๎๎๎๎ด๎๎ด๎๎ด๎ง๎ด๎ญ๎ฅ๎ฎ๎ต๎จ๎ต๎ ๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎ฎ๎๎๎๎๎ญ๎๎๎ง๎๎ฃ๎ฐ๎๎๎ญ๎๎ฎ๎๎๎๎๎ญ๎๎ฎ๎๎ผ๎๎๎ญ๎๎ฎ๎๎๎ธ๎๎๎๎๎ญ๎ต๎ฎ๎ต๎ธ๎ถ๎๎๎ข๎ฌ๎๎ด๎๎ด๎๎ด๎ง๎๎๎ ๎๎ด๎๎๎ฅ๎ญ๎ฉ๎ฎ๎๎ฎ๎ค๎๎๎๎๎ฃ๎๎ด๎ญ๎๎ฅ๎ฎ๎ต๎จ๎ต๎ ๎ธ๎๎๎ด๎ญ.๎๎๎ฅ๎๎๎๎ด๎๎๎๎๎ฃ๎๎๎๎ด๎๎ญ๎ฐ๎๎๎ญ๎๎๎ ๎ค๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎๎ด๎๎๎ด๎ฎ๎ด๎๎ธ๎๎๎๎๎๎ด๎๎ณ๎ด๎๎๎๎ด๎๎ด๎ผ๎ด๎๎๎๎ฌ๎๎๎ฎ๎ณ๎ญ๎๎๎๎ฎ๎ง๎น๎๎ญ๎๎๎๎ด๎๎ธ๎ง๎ถ๎ธ๎น๎๎๎ฆ๎ฃ๎๎๎ด๎ซ๎ฎ๎ต๎ง๎ธ๎๎ด๎ฃ๎๎๎ด๎๎ด๎๎๎จ๎๎๎๎ญ๎ท๎๎๎๎ด๎๎๎ด๎๎๎๎๎ฃ๎๎ด๎ญ๎๎ฒ๎๎๎ ๎ด๎ป๎ด๎ญ๎๎๎ธ๎ญ๎๎ฐ๎๎๎๎ฐ๎ ๎๎๎๎๎ญ๎ฐ๎ ๎๎ญ๎๎๎ถ๎๎๎ด๎ค๎ธ๎๎๎๎ฐ๎ ๎๎๎๎ฎ๎ ๎ค๎ค๎ ๎๎๎ฅ๎๎๎๎ฎ๎ด๎๎๎ฅ๎๎ฎ๎ด๎ง๎ท๎.๎๎๎๎ด๎๎๎ด๎ฎ๎๎ถ๎๎๎๎ ๎๎๎๎ด๎ค๎๎ง๎ถ๎๎๎๎ด๎ฌ๎ด๎ฌ๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎๎๎๎ธ๎๎๎ญ๎๎๎ด๎๎๎๎๎๎๎๎ฎ๎ต๎ค๎ธ๎๎๎ฎ๎ง๎ต๎๎๎ฐ๎ ๎๎๎ข๎ต๎ฌ๎ธ๎จ๎ถ๎ฃ๎๎๎๎๎๎๎๎ฎ๎ต๎ด๎ด๎๎๎๎ด๎๎๎ด๎ฎ๎ด๎๎ธ๎๎๎๎ด๎ฎ๎ต๎ซ๎ด๎ญ๎๎๎ญ๎ต๎ฎ๎ต๎๎ธ๎๎๎ด๎ญ๎๎๎ฎ๎ต๎ป๎ต๎ธ๎ท๎๎๎ฒ๎ถ๎ซ๎ด๎ญ๎๎๎ด๎๎๎๎๎๎๎๎ณ๎๎ฅ๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎๎ฐ๎ ๎๎๎ช๎๎ฎ๎ ๎๎ญ๎๎ผ๎๎๎ฅ๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎ช๎ด๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎๎ฐ๎ ๎๎๎ช๎๎๎ฎ๎ ๎๎๎๎ ๎ด๎ด๎๎ ๎๎ฆ๎ด๎ด๎๎๎๎ฎ๎๎ ๎ด๎ป๎ด๎ญ๎๎ฉ๎ฎ๎ด๎ด๎๎ด๎ญ๎๎๎ถ๎ญ๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎๎ฆ๎ด๎ด๎๎ ๎ด๎ป๎ด๎ญ๎๎๎๎ด๎ง๎ถ๎ธ๎น๎๎ด๎ญ๎๎ญ๎ฎ๎ต๎๎๎ฌ๎๎๎๎ฆ๎ด๎ด๎๎๎๎ถ๎๎ด๎ซ๎๎ฒ๎ถ๎๎๎๎ฎ๎๎ ๎ด๎ป๎ด๎ญ๎๎๎ฎ๎จ๎๎๎๎ญ๎๎๎๎ฎ๎ต๎๎ต๎ธ๎ท๎๎๎๎ช๎ผ๎๎๎๎๎๎ง๎ป๎๎๎๎ฎ๎๎ญ๎๎ฐ๎ ๎๎๎๎ด๎ถ๎๎๎ช๎๎๎ด๎ญ๎๎ฎ๎ถ๎๎๎ด๎๎๎ช๎๎๎ง๎๎ข๎ ๎ด๎ต๎ฃ๎๎ฐ๎ ๎๎๎๎ ๎๎ ๎ด๎ป๎๎ช๎๎ด๎ญ๎๎ฒ๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎ถ๎ช๎ด๎ถ๎๎๎ ๎ด๎ผ๎ถ๎๎ธ๎ง๎ถ๎ป๎๎ด๎ญ๎๎ฆ๎ณ๎ท๎ช๎๎๎๎๎๎ด๎๎๎๎๎๎ฐ๎ด๎๎๎ด๎๎ด๎๎๎ช๎๎ธ๎ฎ๎ด๎๎๎ฆ๎ณ๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎๎ฐ๎๎๎ด๎๎ด๎ด๎ด๎๎๎๎ด๎ฃ๎ด๎ญ๎๎ต๎ช๎ต๎๎๎ด๎ฃ๎๎ต๎ช๎ธ๎จ๎ด๎๎๎ฐ๎ด๎จ๎ธ๎๎ด๎๎๎๎ด๎ฃ๎๎๎ญ๎ฎ๎ณ๎๎๎๎๎๎๎๎ซ๎๎บ๎บ๎บ๎. ๎๎ฒ๎ถ๎๎๎ช๎๎๎ด๎ด๎ถ๎๎๎๎ฎ๎๎ญ๎๎ช๎๎ฎ๎๎๎ฆ๎ด๎๎๎๎๎๎๎ฆ๎ฃ๎๎ฎ๎ณ๎ฎ๎ค๎๎๎ญ๎๎ช๎ด๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎๎ญ๎๎ด๎ด๎ณ๎๎๎ด๎ฌ๎ธ๎จ๎ถ๎ฃ๎๎๎ญ ๎ต๎ฎ๎ต๎ธ๎ถ๎๎๎ฆ๎ณ๎ช๎ถ๎๎๎ด๎ฎ๎ธ๎๎๎๎๎ด๎๎ด๎๎ด๎ง๎๎๎ ๎๎๎๎ด๎ค๎๎ง๎ถ๎๎ด๎ญ๎๎๎๎ด๎๎ต๎ณ๎๎๎ด๎ฃ๎๎๎ณ๎ถ๎ฎ๎ด๎๎ธ๎๎๎๎๎ด๎๎ด๎๎ด๎ง๎๎ฒ๎ถ๎๎๎๎๎ด๎๎ต๎ณ๎ด๎ญ๎๎ฉ๎ญ๎๎ด๎๎ป๎๎ถ๎ช๎ธ๎ด๎ด๎ ๎ด๎๎๎ฏ๎ธ๎ฒ๎ด๎ท๎ ๎ด๎ผ๎ด๎๎๎๎๎๎ณ๎๎ข๎๎๎ฅ๎ถ๎๎ด๎๎๎๎ด๎ค๎ถ๎ฌ๎ธ๎ด๎ด๎๎ถ๎๎๎ต๎ช๎๎ฎ๎ผ๎ณ๎๎๎ด๎ฃ๎๎ช๎๎ด๎ ๎ธ๎ด๎ด๎๎ด๎ญ๎๎ช๎ฃ๎ธ๎ฎ๎ด๎ณ๎ญ๎๎๎๎ธ๎๎๎๎ฆ๎ฃ๎๎ฆ๎ณ๎ท๎ช๎๎๎๎ฒ๎ถ๎.๎Dari penjelasan tersebut di atas, maka dapat di ambil kesimpulan sebagai berikut 27 Syaikh Muhammad Saโid Mursi Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 238. 28 Taqayuddin al-Hishini, Kifฤtul Akhyฤr fฤฉ hฤlli Rฤyatศl แธญkhtisฤr, KH. Syarifuddin Anwar dan KH. Mishbah Musthafa Tej, Surabaya Bina Iman, 2008, hlm. 79-80. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Nafkah terhadap keluarga itu wajib bagi orang tua dan anak-anaknya, maka kewajiban orang tua untuk nafkah dalam keluarganya dengan dua syarat, pertama fakir dan kedua gila, dan kewajiban bagi seorang anak dalam nafkah mereka dengan syarat pertama fakir, kedua masih kecil, dan ketiga gila. Dan kata-kata nafkah di ambil dari kata infaq dan ihkraj penguluaran, maka diwajibkan memberi nafkah dengan tiga sebab yaitu persaudaraan, kepemilikan dan suami istri, maka dua sebab yang terakhir diwajibkan terhadap nafkah yaitu hak kepemilikan atas pemilik, hak istri atas suami dan sebaliknya, dan adapun sebab yang pertama, yaitu keluarga, maka kewajiban bagi tiap-tiap kerabat atau persaudaraan hingga sampai ke atas yang lain yaitu anak karena kerabat itu sebagian dari pada keluarga, dengan demikian wajiblah memberi nafkah atas kerabat, karena ada hubungan itu semua antara ushul dan farโu, maka wajiblah bagi orang tua menafkahi terhadap anaknya hingga terus ke atas, dan kewajiban seorang anak menafkahi orang tua hingga terus ke bawah, dan tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan, dan antara pewaris dan selainnya, dan tidak ada beda bagi seagama atau sebeda agama. berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Lahab ayat ke 2 dengan artinya sebagai berikut โTidaklah berfaedah berguna kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakanโ. Kewajiban memberi nafkah untuk ayah ada beberapa syarat diantaranya, seorang anak memilki kesanggupan terhadap harta yang di milikinya sekira-kira lebih dari kebutuhan hidupnya dari sehari semalam, seandainya seorang tidak memiki harta karena dia miskin, maka tidak ada kewajiban apapun atas anak tersebut. Farโu adalah anak seseorang, anak-anaknya cucunya, dan seterusnya ke bawah, baik mereka laki-laki atau perempuan. Mereka dikatakan furuโ karena bercabang dari bapak. Dialah penyebab keberadaan mereka di alam dunia dan mereka adalah bagian darinya. Tanpa diragukan lagi, bahwa di antara mereka terdapat hubungan kekerabatan yang kuat disebabkan oleh pembagian tersebut. Sedangkan maksud dari ushul di sini adalah asal manusia, baik laki-laki atau perempuan, seperti bapak, kakek dan seterusnya ke atas; ibu, nenek, dan seterusnya ke atas. Mereka berhak mendapatkan nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan perawatan yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalilnya adalah firman Allah SWT, Dan pergaulilah mereka berdua orang tua di dunia dengan baik. Termasuk kebaikan bila sang anak menyediakan kebutuhan kedua orang tuanya saat diperlukan. Diriwayatkan, bahwa seorang laki-laki datang kepala Nabi Muhammad Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Saw. Seraya berkata, โaku memiliki harta dan orang tuaku memerlukannya.โ Beliau pun bersabda, kau dan hartamu adalah milik orang tuamu. Sesungguhnya anak-anak kalian adalah penghasilan terbaik kalian maka makanlah dari penghasilan anak-anak kalian. Menurut para ulama Mazhab Syafiโi seperti yang telah diuraikan di atas, mereka berpendapat bahwa nafkah kepada orang tua adalah wajib diberikan oleh seorang anak, baik anak laki-laki maupun perempuan dan jika mereka mempunyai harta hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan anak serta isterinya, maka didahulukan nafkah mereka terlebih dahulu, dan tidak menjadi wajib bagi mereka untuk menafkahi orang tua mereka. Adapun yang menjadi dasar hukum dari ulama Mazhab Syafiโi seperti Imam Syihabuddin Abu al-โAbbas Ahmad al-Qalyubi, dengan melakukan metode istanbat qiyas terhadap dalil al-Qurโan yaitu surat al-Baqarah ayat 233, Syaikh Zainuddin al-Malibari menyatakan secara jelas tentang kewajiban atas nafkah ushul dan furuโ dalam kitab Fathul al-Muโin dan beliau tidak menggunakan dalil ayat al-Qurโan, dan imam Taqayuddin al-Hishini dalam kitab Kifatul al-Akhyar wajib memberi nafkah ushul dan furuโ berdasarkan dalil ayat al-Qurโan surat al-Lahab. Karena dalam ayat al- Qurโan surat 233 yang di gunakan tersebut dijelaskan bahwa seorang ayah mempunyai kewajiban untuk menafkahi ibu dan anak-anaknya. Menurut para ulama mazhab Syafiโi tersebut jika ayah mempunyai kewajiban menafkahi isteri dan anak, serta ibu yang melahirkan, tentunya diantara ayah dan ibu mempunyai keterkaitan yang erat dengan anak. Maka oleh karena itu, sudah sewajarnya anak juga mempunyai kewajiban untuk menafkahi kedua orang tuanya, ketika ia sudah mampu serta mempunyai kelebihan harta dalam menafkahi dirinya sendiri, isteri dan anaknya. Selain itu juga ada beberapa pendapat terkait nafkah kerabat menurut Mazhab Hambali, dan Mazhab Maliki yang juga membahas kewajiban seseorang baik laki-laki maupun peremuan dalam menafkahi kerabat-kerabatnya, terutama kedua orang tuanya, setelah memenuhi nafkah dirinya sendiri, isteri dan anaknya terlebih dahulu. Adapun beberapa pendapat tersebut di antaranya sebagai berikut 1. Kekerabatan yang diwajibkan memberi nafkah adalah kerabat secara mutlak yang langsung atau tidak. Jadi, diwajibkan bernafkah atas ushul tehadap al-farโu dan begitu pula sebaliknya. Karena para kakek adalah juga para bapak, dan para cucu juga para anak, sehingga mereka tergolong dalam keumuman nash yang mewajibkan nafkah bapak dan anak, yaitu nash-nash yang telah disebutkan pada Mazhab Syafiโi. 2. Kekerabatan yang diwajibkan bernafkah adalah kerabat yang diharamkan menikah muhrim. Jadi diwajibkan nafkah antara Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi kerabat apabila mereka semuhrim, sedangkan selain muhrim tidak diwajibkan nafkah. Ini adalah Mazhab Hanafi yang lebih luas daripada Mazhab Syafiโi. Dalil mereka adalah firman Allah SWT, Sembahlah Allah SWT dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat Al-Nisaโ36 dan firman Nya, โDan berikanlan kerabat itu haknyaโ Al-Israโ26, serta sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari sebagai berikut ๎ฎ๎ณ๎ฎ๎ซ๎๎ฒ๎๎๎๎ฆ๎๎๎ข๎ ๎ณ๎ญ๎๎ช๎ด๎ ๎๎๎ฏ๎๎ฐ๎ ๎ป๎๎ฏ๎๎๎ฎ๎ณ๎ญ๎๎ฐ๎๎๎๎๎๎ญ๎๎ฏ๎๎๎๎๎๎๎๎ช๎จ๎๎๎ฏ๎๎ฒ๎ฟ๎ญ๎๎๎๎๎๎๎ฎ๎ฒ๎๎๎๎ค๎ป๎๎ฆ๎ด๎ค๎๎๎ฑ๎๎จ๎๎๎๎๎ฃ๎๎๎ฆ๎ฃ๎๎ฏ๎๎๎ฎ๎ณ๎ญ๎๎๎ณ๎๎๎๎๎๎๎๎๎๎๎๎๎ฃ๎๎๎ข๎๎๎๎๎๎๎๎ฎ๎ฆ๎ฃ๎๎ข๎๎๎ ๎๎๎๎๎๎ฃ๎๎๎ข๎๎๎๎๎๎๎ฎ๎ฆ๎ฃ๎๎ข๎๎๎๎๎ฎ๎๎๎๎ข๎๎๎๎๎ฎ๎๎ท๎๎๎๎ข๎๎๎ฑ๎ญ๎๎จ๎๎๎๎๎ฉ๎๎ญ๎ญ๎๎Artinya โDari Abi Hurairah, datang seorang laki-laki, dan bertanya,,! Wahai Rasulullah, siapakah yang paling patut dipatuhi?โ beliau bersabda, โibumuโ. Aku berkata, โlalu siapa?โ Beliau bersabda, โIbumuโ. Aku berkata, โlalu siapa?โ Beliau bersabda, โIbumuโ. Aku berkata, โlalu siapa?โ Beliau bersabda, โBapakmu, kemudian kerabat terdekatโ. Bukhari29 Allah telah memberikan hak kepada kerabat, memerintahkan untuk memberikannya dan memosisikannya setelah hak kedua orang tua. Itu menunjukkan tentang kewajiban bernafkah untuk kerabat meskipun hubungan kekerabatannya bukan kerabat kelahiran. Mazhab Hanafi beralasan tentang pembatasan kekerabatan dengan muhrim karena telah diriwayatkan dari Abdullah bin Ibnu Masโud bahwa ketika ia membaca ayat, Wa โalla al-waritsi mitslu dzalik dengan menambahkan dzu ar-rahim al-muhrim kerabat semuhrim. Qiraat itu disebutkan sebagai penjelasan qiraat mutawatir, dan ia telah diriwayatkan secara makruf, sehingga ia dapat dijadikan pembatas bagi nash. 3. Kerabat yang diwajibkan bernafkah adalah kerabat pewaris, baik secara wajib atau โketurunannya, maka diwajibkan memberikan nafkah ushul terhadap furuโโ, begitu pula sebaliknya. Sebagaimana diwajibkan atas semua kerabat, baik mereka itu muhrim atau bukan, selama mereka sebagai pewaris secara wajib atau โashabah, seperti para saudara laki-laki, paman dari bapak dan anak-anaknya. Ini adalah pendapat Mahzab Hambali yang 29Ahmad bin Muhammad Al-Qasthalni, terj. Abu Nabil, Syarah Shahih Bukhari/JawahirAl-Bukhari wa Syarh Al-Qasthalni, Solo Zamzam, 2014, hlm. 45. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi lebih luas daripada Mazhab Hanafi, karena ia tidak mensyaratkan kemuhriman dalam kewajiban bernafkah sebagaimana yang disyaratkan oleh Mazhab Hanafi. Karena itu, menurut Mazhab Hambali, seorang anak wajib bernafkah kepada anak laki-laki pamannya dari bapak karena ia pewaris. Sedangkan menurut Mazhab Hanafi tidak wajib karena ia bukan muhrim. Alasan Mazhab Hambali adalah firman Allah, Dan pewaris pun berkewajiban demikian. Allah SWT telah menggantungkan kewajiban bernafkah dengan pewaris tanpa perbedaan apakah ia muhrim atau tidak maka atas dasar hal ini diketahui bahwa kerabat yang diwajibkan bernafkah adalah kerabat pewaris yang memiliki harta. Karena, kerabat pewaris itu lebih berhak atas harta yang diwarisi daripada orang selainnya maka ketika mengkhususkan untuknya kewajiban bernafkah daripada orang selainnya adalah sebuah keadilan. Demikianlah pendapat-pendapat fuqaha tentang kerabat yang diwajibkan bernafkah. Pendapat yang digunakan sampai sekarang adalah pendapat Mazhab Hanafi, bahwa ia diwajibkan untuk memberikan nafkah kelurga semuhrim, mereka disebut dengan โsisipanโ al-hawasyi. 4. Nafkah kerabat itu secukupnya. Karena, nafkah mereka demi menutupi kebutuhan dan kebutuhan itu ditutupi dengan secukupnya. Begitu pulu nafkah anak atas orang tuanya itu secukupnya, kecuali jika sang bapak lapang rezekinya maka nafkahnya sesuai dengan keputusan hakirm. 5. Nafkah ushul dan furuโ diwajibkan saat terbukti bahwa mereka membutuhkannya, tanpa bergantung atas keputusan hakim. Sedang nafkah orang selain mereka bergantung atas keputusan hakim. Atas dasar ini, apabila seseorang memiliki harta yang dikhususkan untuk nafkah maka bapak atau anaknya yang berhak dinafkahi boleh mengambil sebagian dari secukupnya, tanpa mengajukannya kepada hakim. Sedangkan saudaranya yang berhak mendapat nafkahnya hanya boleh mengambil harta tersebut seizinnya atau atas keputusan Para ulama telah sepakat ijmak, bahwa nafkah kedua orang tua fakir yang tidak berharta atau tidak berpenghasilan itu wajib dikeluarkan dari harta sang anak. Hal ini dianalogikan dengan nafkah anak yang wajib dikeluarkan sang bapak, karena penghormatan kepada orang tua itu lebih mulia. Apabila sang anak tidak berpenghasilan maka ia tidak wajib 30 Abdul Majid Mahmud Hukum Keluarga Sakinah,,,, hlm. 618-631. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi menafkahi orang tuanya. Tapi, dirinya sendiri memerlukan seseorang untuk menafkahirnya dan kewajiban nafkah bagi orang tuanya adalah saudaranya yang wajib menafkahi mereka. Apabila tidak ada orang lain yang wajib menafkahi mereka maka urusan tersebut diserahkan kepada kas Negara baitulmal. Nafkah anak-anak lebih diutamakan daripada nafkah orang tua. Apabila seseorang memiliki harta lebih yang hanya dapat memenuhi kebutuhan salah satu dari orang tua atau anaknya maka kebutuhan seorang anak lebih diutamakan. Perlu diperhatikan, bila anak-anak tersebut berjumlah banyak maka kewajiban nafkah tersebut diperuntukkan mereka yang lebih dekat hubungan kekerabatannya. Kesimpulan 1. Menurut imam Syihabuddin al-โAbbas Ahmad atau yang lebih dikenal dengan sebutan al-Qalyubi bahwa setiap anak baik anak laki-laki maupun perempuan mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada ayah dan ibunya. Berdasarkan surat al-Baqarah ayat 233 tersebut di atas, al-Qalyubi mengqiyaskan bahwa apabila seseorang ayah berkewajiban memberi nafkah kepada anak, maka dia seorang anak juga wajib memberi nafkah kepada ayah dan ibunya dengan 'Illah alasan ada hubungan antara anak dan ayah yaitu, anak keturunan dari ayah. 2. Menurut Syaikh Zainuddin al-Malibari, barang siapa yang masih memiliki orang tua dan keturunan, maka nafkah orang tua menjadi tanggungan dari keturunannya ke bawah. Dan jika seseorang masih mempunyai orang tua ayah atau ibu dan saudaranya yang membutuhkan nafkah tersebut, sedangkan ia sendiri tidak mampu untuk mencukupi semua, maka ia berhak mendahulukan dirinya sendiri, isteri dan anaknya. 3. Menurut imam Taqayuddin al-Hishini Nafkah terhadap keluarga itu wajib bagi orang tua dan anak-anaknya, maka kewajiban orang tua untuk menafkahkan keluarganya dengan dua syarat, pertama fakir dan kedua gila, dan adapun kewajiban bagi seorang anak untuk nafkah mereka dengan syarat pertama fakir kedua masih kecil dan ketiga gila. Dengan demikian memberi nafkah atas kerabat itu wajib apabila ada hubungan persaudaraan yang dinamakan ushul dan farโu, maka wajiblah bagi orang tua menafkahi anaknya hingga terus ke atas, dan kewajiban seorang anak menafkahi orang tua hingga terus ke bawah, dan tidak ada beda antara laki-laki dan perempuan, dan antara pewaris dan selainnya, dan tidak ada beda bagi seagama atau beda agama. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat al-Lahab ayat 2. Kewajiban memberi nafkah untuk ayah ada beberapa syarat di antaranya, seorang anak memilki kesanggupan terhadap harta yang di milikinya sekira-kira lebih dari kebutuhan hidupnya sehari semalam, seandainya seseorang tidak memiliki harta karena dia miskin, maka tidak ada kewajiban apapun atas anak tersebut. Daftar Kepustakaan Abdul Aziz al-Fauzan, Fiqih Sosial,Cetakan Pertama Jakarta Qisthi Press, Anggota Ikapi, 2007. Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajud Muslim, Jakarta DarulFikr, Bairut 2000 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cetakan keempat, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2010.. Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fikih, Jakarta Prenada Media, 2003. Amir Syafifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta Kencana Prenada Media Group, 2011. Bangbang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta PT Raja Grafindo Persada 1997. H. A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, Cet. II,Banda Aceh Yayasan PeNA 2005. Tihami dkk, Fikih Munakahat, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2010. IbnuRusyd Penerjemah, Abu Usamah Fakhtur Rokhman, Bidayatul Mujtahid 2, Jakarta PustakaAzzam 2007 Imam AbiZakariaYahya, Minhajuth al-Thalibin, Al-Mahalli juzuk 4, Solo Manara Kudus, 1975 Imam Al-Alusi Al-Bagdadi, Ruhul Maโani fi Tafsiral-Qurโan, Juz Ke 2,Terj. Syihabuddin Mahmud, KairoDar Al-Hadist, 2005, Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. 8, Jakarta Balai Pustaka, 1989. M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Dalam Berumah Tangga, Jakarta Prenada Media, 2003. Mumahmad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta PT Raja Grafindo Persada 2004. Saiful Amir Ghafur, Profil Para Mufassir Al-Qurโan, Yogyakarta Pustaka Insan Madani, 2008. Syaikh Abu Syujaโ, Penerjemah Mahmud Zaini, Matnul Ghayah Wat Tagrib, Jakarta Pustaka Amani, cet 2, 2011. Kewajiaban Nafkah Ushul dan Furuโ Menurut Mazhab Syafiโi Tarmizi M Jakfar, Fakhrurrazi Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta Pustaka Al-Kausar, 2008 Syaikh Mahmud al-Mashri, Perkawinan Idaman, Jakarta Qisthi Press, 2010. Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Jakarta Pustaka Al-Kautsar, 2001. Syaikh Zainuddin, Fathul Muโin ,Jilid. 3, AliyAsโad Tej, Menara Kudus, 1979. Wahbah Az-Zuhaili, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, cetakan kesepuluh, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta Gema Insani, 2007. Adri LatifMuhammad Arief Ridha RosyadiAhmad Rezy MeidinaPemberian inafkah ipasca iperceraian iterhadap iistri idan ianak isering ikali idiabaikan idan iditinggalkan ioleh imantan ianaggapan ibahwa iputusan ipengadilan ihanya iproduk ihukum iNegara isehingga itidak imemiliki ikonsekuensiiterhadap iTuhan imenjadi isalah isatu ifaktornya. iPemahaman iini iperlu idiluruskan. iTulisan iini iberupaya iuntukimemberikan ikesadaran ikepada imasyarakat, ibahwa ikewajiban imemberikan inafkah ipasca iperceraian ibagi iistri idan ianakitidak idapat iditinggalkan iserta imerta ioleh imantan isuami itanpa iadanya ialasan iyang idapat idijadikan isebagai iillatihukum. iAdanya itulisan iini ibertujuan iuntuk imemberikan ipenjelasan iterperinci iterhadap ijaminan ikesejahteraan iistri idanianak iyang idiamanahkan imelalui ifirman iTuhan. iPenelitian iini ibersifat ideskriptif idengan imenggunakanipendekatan iYuridis-Normatif. iHasil ipenelitian iini iadalah itidak iadanya icelah iuntuk imengingkari iputusan ihakim iterkaitipenetapan ipemberian inafkah ipasca iperceraian. iHakim isebagai iwakil iTuhan idi imuka ibumi idan iputusannya idapatidimaknai isebagai iketentuan idemi iterwujudnya ikemaslahatan iummat iharus Wahyudani Muhammad RidwansyahAbstrak Filosofis nafkah yang semulanya menjadi kewajiban suami memberi nafkah kepada istri, anak-anak, dan kerabat menjadi terbalik ketika pandemi covid-19 melanda masyarakat Indonesia. Alquran surah Albaqarah ayat 233 dan KHI dalam hal yang sama membebankan nafkah kepada suami tetapi karena situasi ekonomi yang semakin semerawut dan resesi mengakibatkan produk domestik bruto menurun. Artinya ada banyak suami-suami kehilangan pekerjaan akibat wabah ini. Metodologi yang digunakan adalah yuridis-sosiologis. Hasil penelitian sebagai berikut bahwa dalam Albaqarah mewajibkan seorang suami memberikan nafkah kepada istri tetapi konteks lain, seorang istri atau anggota keluarga lain dapat berperan dalam menjaga ketahanan keluarga di masa pandemi ketahanan pandemi covid-19. Kemudian, Pasal 83 KHI menjelaskan seorang istri hanya berkewajiban utama berbakti lahir dan batin, makna berbakti boleh saja diinterpretasikan sebagai bentuk pembantuan atau meringankan sebagian tugas suami dalam hal nafkah ketika seorang istri dalam kategori mampu dan tidak ada unsur pemaksaan. Abstract The philosophy of living, which was originally the husband's obligation to provide for his wife, children, and relatives, was reversed when the Covid-19 pandemic hit the people of Indonesia. Albaqarah verse 233 and KHI Compilation of Islamic Law are imposes a living burden on the husband, but due to the increasingly chaotic economic situation and recession, the gross domestic product decreases. This means that many husbands have lost their jobs due to this epidemic. The methodology used is juridical-sociological. The results Albaqarah requires a husband to provide a living, but in another context, a wife or other family members can. Then, the KHI explains that a wife has only the main obligation to serve physically and mentally, the meaning of filial piety may be interpreted as a form of assistance or easing some of the husband's duties in terms of UngelRispalman RispalmanTaufiq HidayatPenelitian ini dilatar belakangi oleh sebuah permasalahan rumah tangga dimana suami tidak menunaikan kewajibannya memberi nafkah kepada istri selama proses perceraian berlangsung hingga istri terhalang untuk mendapatkan hak yang semestinya diterimanya. Seharusnya, nafkah harus terus diberikan oleh suami kepada istrinya hingga resmi putusnya perceraian di depan Pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua persoalan pokok, yaitu apa saja yang menjadi faktor pengabaian nafkah dalam proses perceraian dan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pengabaian nafkah dalam proeses perceraian. Untuk memperoleh jawaban dari persoalan tersebut, Peneliti menggunakan metode penelitian lapangan field research, dengan pendekatan kualitatif dan dianalisis menggunakan analisis deskriftif. Berdasarkan kajian dan penelaahan yang peneliti lakukan, setidaknya ada 5 faktor yang menjadi penyebab terjadinya pengabaian nafkah dalam proses perceraian, diantaranya adalah faktor kurangnnya pemahaman agama, faktor kurangnya tanggung jawab suami terhadap istri, faktor ekonomi, faktor tidak ada keserasian antara suami istri dan faktor kejenuhan antara suami istri. Hukum Islam memandang bahwa semua faktor yang menjadi alasan pengabaian nafkah dalam proses perceraian tidaklah dibenarkan. Perihal ketidakmampuan suami untuk memberikan nafkah karena faktor ekonomi menjadi sebuah pengecualian karena tidak dibebankan kepada seseorang sebuah kewajiban melainkan atas kesanggupannya. Suami yang tidak memberikan nafkah selama masa perceraian dapat menjadi hutang baginya dan harus dibayarkan. Namun apabila istri merelakan hutang tersebut tidak dibayarkan oleh suaminya, maka suaminya terbebas dari PT Raja Grafindo PersadaBangbang SunggonoMetode PenelitianHukumBangbang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta PT Raja Grafindo Persada Perkawinan Islam IndonesiaH A HamidSarongH. A. Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Indonesia, Cet. II,Banda Aceh Yayasan PeNA Penerjemah, Abu Usamah Fakhtur RokhmanM A Tihami DkkFikih Tihami dkk, Fikih Munakahat, Jakarta Raja Grafindo Persada, 2010. IbnuRusyd Penerjemah, Abu Usamah Fakhtur Rokhman, Bidayatul Mujtahid 2, Jakarta PustakaAzzam 2007Imam AbizakariayahyaMinhajuth Al-ThalibinImam AbiZakariaYahya, Minhajuth al-Thalibin, Al-Mahalli juzuk 4, Solo Manara Kudus, 1975Imam Al-Alusi Al-BagdadiRuhul MaImam Al-Alusi Al-Bagdadi, Ruhul Ma"ani fi Tafsiral-Qur"an, Juz Ke 2,Terj. Syihabuddin Mahmud, KairoDar Al-Hadist, 2005,C S T KansilKansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet. 8, Jakarta Balai Pustaka, SyaikhSyujaSyaikh Abu Syuja", Penerjemah Mahmud Zaini, Matnul Ghayah Wat Tagrib, Jakarta Pustaka Amani, cet 2, Hasyitan"ala Syarh al-MahalliQalyubiQalyubi-"Umairah, Hasyitan"ala Syarh al-Mahalli "ala Minhฤjal-Thฤlibฤฉn Juzuk Keempat, Solo Manara Kudus, 1976, hlm dan Terjemahan. Jakarta Cahaya Qur"anMuhammad Ihsan SikhaqIhsan Sikhaq Muhammad, Qur"an dan Terjemahan. Jakarta Cahaya Qur"an, 2011, hlm. HasanM. Ali Hasan, Pedoman Hidup Dalam Berumah Tangga, Jakarta Prenada Media, 2003.
Assalaamu 'Alaikum Wa Rohmatullaahi Wa Barokaatuh ... Bismillaah Wal Hamdulillaah ... Wash-sholaatu Was-salaamu 'Alaa Rasuulillaah ... Wa 'Alaa Aalihi Wa Shohbihi Wa Man Waalaah ... Salah satu penyebab Takfir antara kaum muslimin dari aneka ragam Madzhab dan Firqoh adalah ketidak-mampuan kebanyakan awam umat Islam dalam membedakan antara Ushuluddin dan Furuโuddin. Ushuluddin adalah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan amat mendasar serta fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil qothโi yang mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya mencapai tingkat kepastian, sehingga tidak diperkenankan adanya perbedaan. Setiap perbedaan dalam Ushul merupakan Inhiraf yaitu penyimpangan yang wajib diluruskan. Sedang Furuโuddin adalah cabang-cabang / ranting-ranting ajaran agama Islam yang sangat penting tapi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq, karena berdiri di atas dalil zhonni yang tidak mutlak benar, yaitu yang keyakinan kebenarannya tidak mencapai tingkat kepastian, sehingga diperkenankan adanya perbedaan selama ada dalil syarโi yang muโtabar. Setiap perbedaan dalam Furuโ merupakan Ikhtilaf yaitu khilafiyah yang wajib dihargai. Baik Ushuluddin mau pun Furuโuddin sama-sama harus berdiri di atas Dalil Syarโi, Jika tidak ada Dalil Syarโi, maka menjadi Penyimpangan, baik dalam Ushul mau pun Furuโ. Karenanya, peranan Dalil Syarโi dalam Ushul dan Furuโ sangat penting dan amat menentukan. PERAN USHUL DAN FURUโ Karenanya, memahami Ushuluddin dan Furuโuddin merupakan kunci untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip dalam ajaran Islam, guna memudahkan pemilahan antara perbedaan dan penyimpangan agama, sehingga menjadi dasar penyikapan yang benar untuk toleransi menghargai terhadap perbedaan atau tegas meluruskan terhadap penyimpangan. Problemnya, banyak kalangan awam umat Islam tidak mampu membedakan antara Ushul dan Furuโ. Ada kelompok yang melihat Ushul sebagai Furuโ, sehingga mereka toleransi terhadap Penyimpangan Ushul karena dianggap sebagai Perbedaan Furuโ. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang sangat toleran dan bersahabat terhadap aliran Ahmadiyah yang telah nyata melakukan Penyimpangan Ushul, karena dianggap hanya Perbedaan Furuโ, sehingga yang seharusnya mereka bersikap tegas meluruskan terhadap penyimpangan, justru mereka jadi bersikap toleransi menghargai terhadap penyimpangan tersebut karena dianggap perbedaan. Sebaliknya, ada lagi kelompok yang melihat Furuโ sebagai Ushul, sehingga mereka tidak toleransi terhadap Perbedaan Furuโ karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul. Contoh kasusnya adalah kelompok Islam yang mudah menyesatkan bahkan mengkafirkan saudara muslim lainnya hanya lantaran Perbedaan Furuโ, baik dalam soal Furuโ Aqidah seperti masalah Tawassul dan Tabarruk, mau pun dalam soal Furuโ Syariah seperti Qunut Shubuh dan Peringatan Maulid Nabi SAW, karena dianggap sebagai Penyimpangan Ushul, sehingga yang seharusnya mereka bersikap toleransi menghargai terhadap perbedaan, justru mereka jadi bersikap tegas meluruskan terhadap perbedaan tersebut karena dianggap penyimpangan. Oleh sebab itu, umat Islam wajib berkemampuan untuk melakukan pemilahan antara Ushul dan Furuโ, agar mampu membedakan antara perbedaan dan penyimpangan, sehingga menjadi lurus dan benar dalam bersikap. Pemilahan Masalah ke dalam Ushul atau Furuโ bergantung kepada Nilai Hujjah yaitu kekuatan dalil. Ada pun Nilai Hujjah suatu Dalil bergantung kepada jenis dalil baik dari segi Wurud mau pun Dilalah. NILAI HUJJAH Dari segi Wurud yaitu bagaimana datangnya suatu Dalil Syarโi kepada kita terbagi menjadi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang bersifat Mutawatir, yaitu Al-Qurโan dan Hadits Mutawatir, maka nilai hujjahnya adalah Qothโi secara Wurud. 2. Setiap dalil yang bersifat Ahad, yaitu semua hadits Ahad, maka nilai hujjahnya adalah Zhonni secara Wurud. Dan dari segi Dilalah yaitu bagaimana suatu dalil menunjukkan kepada suatu hukum, maka nilai hujjahnya juga terbagi Dua Nilai Hujjah 1. Setiap dalil yang Mono Tafsir atau Mono Taโwil, yaitu yang hanya mengandung satu makna, maka nilai hujjahnya Qothโi secara Dilalah. 2. Setiap dalil yang Multi Tafsir, yaitu yang mengandung lebih dari satu makna, maka nilai hujjahnya Zhonni secara Dilalah. METODOLOGI PEMILAHAN USHUL DAN FURU Selanjutnya, Metodologi Pemilahan masalah kepada Ushul dan Furuโ secara singkat adalah sebagai berikut 1. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qothโi, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushuluddin. Contoh Firman Allah dalam ayat 1 tentang Keesaan Allah SWT merupakan Dalil Qothโi secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qurโan, dan Qothโi juga secara Dilalah karena Mono Tafsir, maka hal ini merupakan masalah Ushuluddin. Karenanya, dalam hal Keesaan Allah SWT tidak boleh ada perbedaan pendapat antara Madzhab Islam. Barangsiapa menolak Keesaan Allah SWT, maka ia menyimpang dan tersesat bahkan kafir dan keluar dari Islam, karena Ushuluddin merupakan Ushul Islam. 2. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni, baik dari segi Wurud mau pun Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furuโuddin. Contoh Hadits Nabi SAW dalam Sunan Abi Daud hadits dan Sunan An-Nasaa-i hadits ke tentang perintah / anjuran membaca Surat Yaasiin atas โMautaaโ merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, dan Zhonni juga secara Dilalah karena Multi Taโwil, dimana kata โMautaaโ bisa berarti orang yang sedang sekarat, dan bisa juga bermakna orang yang sudah meninggal dunia, maka hal ini merupakan masalah Furuโuddin. Karenanya, umat Islam berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sekarat bukan yang sudah meninggal dunia, tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya bahwa Surat Yasin dibaca atas orang yang sudah meninggal dunia bukan yang sedang sekarat, lalu ada juga yang membolehkan keduanya. 3. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Qothโi dari segi Wurud, namun bernilai Zhonni dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Furuโuddin. Contoh Firman Allah dalam 43 dan 6 tentang salah satu yang membatalkan wudhu adalah โLaamastumun Nisaaโ merupakan Dalil Qothโi secara Wurud karena berupa Ayat Al-Qurโan, namun Zhonni secara Dilalah karena Multi Tafsir, dimana ada yang menafsirkannya โmenyentuh perempuanโ dengan sentuhan biasa, yaitu kulit bertemu dengan kulit, dan ada pula yang menafsirkannya โmenggauli perempuanโ, maka hal ini merupakan masalah Furuโuddin. Karenanya, Ulama berbeda pendapat dalam soal ini, ada yang menyatakan bahwa menyentuh perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu secara mutlak, tapi ada yang mensyaratkan menyentuhnya dengan sengaja, dan ada lagi yang mensyaratkan menyentuhnya dengan syahwat, lalu ada juga yang menyatakan menyentuh saja tidak membatalkan wudhu tapi menggaulinya yang membatalkan wudhu. 4. Jika suatu masalah memiliki Dalil yang bernilai Zhonni dari segi Wurud, namun bernilai Qothโi dari segi Dilalah, maka masalah tersebut pasti termasuk masalah Ushul Madzhab. Contoh Hadits Nabi SAW tentang pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur merupakan Dalil Zhonni secara Wurud karena berupa Hadits Ahad, namun Dalil Qothโi secara Dilalah karena Mono Taโwil, maka hal ini merupakan masalah Ushul Madzhab. Aswaja menjadikan iman kepada adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur sebagai Ushul Madzhab Aswaja, karena bagi Aswaja bahwa Hadits Ahad selama Shahih maka wajib dijadikan dalil dalam Aqidah mau pun Hukum. Sedang Muโtazilah menolaknya, karena bagi Muโtazialh bahwa masalah Aqidah tidak boleh menggunakan Hadits Ahad karena nilainya Zhonni, sehingga Muโtazilah tidak percaya adanya pertanyaan Munkar dan Nakir dalam Kubur. Disini, Muโtazilah tidak boleh divonis Kafir lantaran persoalan ini, tapi cukup dikatakan bahwa Muโtazilah bukan Aswaja. USHUL FURUโ DALAM AQIDAH, SYARIAH DAN AKHLAQ Ushuluddin sering diidentikkan dengan Aqidah, karena kebanyakan masalah Ushul adalah masalah Aqidah. Sedang Furuโuddin sering didentikkan dengan Syariat, karena kebanyakan masalah Furuโ adalah masalah Syariat. Namun sebenarnya, dalam Ushuluddin ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Begitu juga dalam Furuโuddin juga ada masalah Aqidah mau pun Syariat, bahkan Akhlaq. Karenanya, dalam Aqidah dan Syariat mau pun Akhlaq ada masalah Ushul yang tidak boleh berbeda dan ada juga masalah Furuโ yang boleh berbeda. Itulah sebabnya, ada istilah-istilah Ushul Aqidah dan Furu Aqidah, Ushul Syariat dan Furuโ Syariat, Ushul Akhlaq dan Furu Akhlaq. Para Ulama Salaf mau pun Khalaf, tidak pernah berbeda pendapat dalam masalah Ushul, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Namun mereka ada berbeda pendapat dalam masalah Furuโ, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. CONTOH USHUL DAN FURUโ Beberapa contoh lain tentang Ushul dan Furuโ dalam Aqidah, Syariah dan Akhlaq, antara lain a. Dalam masalah Aqidah, Iman kepada Keesaan dan Kesucian Allah SWT yang tidak ada sekutu apa pun dan tidak ada yang seperti-Nya, dan Dia SWT tidak butuh kepada Alam Semesta ciptaan-Nya, termasuk Dzat-Nya tidak butuh kepada ruang, sudut dan waktu, merupakan masalah Ushul Aqidah. Sedang soal kemungkinan melihat Allah SWT bagi orang-orang beriman di Hari Akhir nanti, apakah dengan mata kepala sebagaimana keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaโah atau hanya melihat dengan mata hati sebagaimana keyakinan Muโtazilah, adalah masalah Furuโ Aqidah. b. Dalam masalah Syariah, Kewajiban Shalat Lima Waktu adalah merupakan masalah Ushul Syariah. Sedang masalah Niat Shalat boleh dilafazhkan atau tidak, lalu tentang Udzur Shalat Jamaโ apakah hanya terbatas pada Hujan dan Musafir, atau mencakup juga Khauf dan Sakit, atau lebih luas dari itu, semuanya merupakan masalah Furuโ Syariah. c. Dalam masalah Akhlaq, Menyintai dan Menghormati Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya serta para Shahabatnya adalah merupakan masalah Ushul Akhlaq. Namun soal memberi gelar kehormatan di depan nama mereka sebagai tanda cinta, seperti kata โSayyidunaโ bagi yang pria dan โSayyidatunaโ bagi yang wanita, apakah boleh atau tidak atau justru lebih afdhol, adalah merupakan masalah Furuโ Akhlaq. USHUL ISLAM DAN USHUL MADZHAB Ushul Islam adalah Ushuluddin yang mutlak tidak menerima perbedaan pendapat dengan alasan apa pun. Setiap perbedaan dalam Ushul Islam secara mutlak tidak bisa dibenarkan, dan secara mutlak pula disebut sebagai Penyimpangan Inhiraf. Dan penyimpangan dalam Ushul Islam adalah Kesesatan bahkan bisa menjadi Kekafiran, sehingga tidak boleh ditoleran, tapi wajib diluruskan. Barangsiapa menolak atau membangkang terhadap Ushul Islam yang telah disepakati semua Madzhab Islam maka ia keluar dari Islam, karena ia telah menyimpang dari pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang sangat prinsip dan mendasar serta fundamental. Penyimpangan sekecil apa pun tetap penyimpangan. Dan sekecil apa pun penyimpangan dalam Ushul tetap merupakan kesesatan yang mesti diluruskan. Ada pun Ushul Madzhab yaitu masalah dalam ajaran agama Islam yang diyakini sebagai Ushuluddin oleh suatu Madzhab Islam, tapi ditolak oleh Madzhab Islam yang lain, bahkan terkadang Madzhab Islam yang lain berpendapat sebaliknya, baik terkait Aqidah, Syariat mau pun Akhlaq. Dengan kata lain, Ushul Madzhab ialah pokok-pokok / dasar-dasar ajaran agama Islam yang diyakini oleh suatu Madzhab Islam, tapi tidak diyakini oleh Madzhab Islam lainnya. Ushul Madzhab ini tidak secara mutlak menolak perbedaan pendapat, sehingga perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak bisa dihindarkan. Perbedaan dalam Ushul Madzhab tidak mengantarkan kepada kekafiran. Barang siapa yang melanggar Ushul Madzhab maka ia tidak boleh dikafirkan atau divonis keluar dari Islam, tapi cukup disebut tidak tergolong dalam Madzhab Islam yang meyakininya sebagai Ushul. Karenanya, Ushul Madzhab dalam kontek hukumnya menyerupai Furuโuddin, sebab adanya perbedaan pandangan antar Madzhab Islam membuatnya menjadi tidak prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental lagi. Perbedaan dalam Ushul Madzhab masuk katagori Khilafiyah, bukan penyimpangan, sehingga harus dihargai sebagai sebuah perbedaan. Namun demikian, masih banyak pihak yang menjadikan Ushul Madzhab sebagai Ushuluddin, sehingga mereka mengkafirkan siapa saja yang berbeda Ushul Madzhabnya. KONSEKWENSI DUA USHUL Pemilahan Ushul menjadi Ushul Islam dan Ushul Madzhab ini dimaksudkan untuk 1. Agar antar Madzhab Islam saling menjaga Ushul Islam dari segala bentuk penyelewengan. 2. Agar antar Madzhab Islam tidak saling menyesatkan, apalagi mengkafirkan dalam masalah Ushul Madzhab. Berikut beberapa contoh tentang konsekwensi pandangan tentang Ushul Islam dan Ushul Madzhab 1. Kemakhluqan Al-Qurโan ? Ahlus Sunnah wal Jamaโah meyakini bahwa Al-Qurโan adalah Kalamullah dan bukan makhluq, sedang Muโtazilah meyakini bahwa Al-Qurโan adalah makhluq. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Muโtazilah, dan sebaliknya Muโtazilah pun menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak kemakhluqan Al-Qurโan dipastikan bukan Muโtazilah, dan sebaliknya yang menerima kemakhluqan Al-Qurโan dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furuโuddin. 2. Taโwil Ayat Sifat ? Ahlus Sunnah wal Jamaโah yang Salaf mau pun Khalaf, meyakini bahwa mentaโwilkan sifat-sifat Allah SWT dengan Makna Majazi dibolehkan manakala Makna Hakiki mustahil digunakan. Sedang kalangan Wahabi yang mengklaim sebagai pengikut Madzhab Salaf yang paling Aswaja, menolak taโwil sifat-sifat Allah SWT, sehingga mereka memaknainya dengan Makna Zhohiri, bahkan terkadang cenderung dengan Makna Hakiki. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Wahabi, dan sebaliknya Wahabi menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menerima Taโwil Sifat dipastikan bukan Wahabi, dan sebaliknya yang menolak Taโwil Sifat dipastikan bukan Ahlus Sunnah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furuโuddin 3. Keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin ? Ahlus Sunnah wal Jamaโah sepakat meyakini keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, radhiyallaahu โanhum. Sedang Syiโah Imamiyah tidak mengakui keabsahan Khulafa Rasyidin, melainkan meyakini keabsahan Wilayah sekaligus Khilafah Dua Belas Imam yaitu Ali Al-Murtadho, Al-Hasan, Al-Husein, As-Sajjad, Al-Baqir, Ash-Shodiq, Al-Kazhim, Ar-Ridho, Al-Jawad, Al-Hadi, Al-โAskari dan Al-Mahdi, radhiyallaahu โanhum. Jika persoalan ini dikatagorikan sebagai Ushul Islam, maka Ahlus Sunnah menjadi kafir dalam pandangan Syiโah Imamiyah, dan sebaliknya Syiโah Imamiyah menjadi kafir dalam pandangan Ahlus Sunnah. Namun, jika masalah ini dikatagorikan sebagai Ushul Madzhab, maka yang menolak keabsahan Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Ahlus Sunnah, dan sebaliknya yang menerima Kekhilafahan Khulafa Rasyidin dipastikan bukan Syiโah Imamiyah, tapi semuanya tidak boleh dikafirkan hanya lantaran masalah tersebut, karena Ushul Madzhab dalam konteks hukumnya tidak termasuk katagori Ushuluddin, tapi termasuk katagori Furuโuddin. KESIMPULAN Perbedaan Ushul dan Furuโ sesuai dengan definisi masing-masing beserta ruang lingkup dan berbagai contoh masalahnya sebagaimana telah dipaparkan di atas secara singkat dan ringkas, maka bisa disimpulkan sebagai berikut 1. Ushul berdasarkan dalil qothโi, sedang Furuโ berdasarkan dalil zhonni. 2. Ushul memiliki kebenaran mutlak, sedang Furuโ tidak. 3. Ushul kebenarannya mencapai kepastian, sedang Furuโ tidak. 4. Ushul harus disepakati, sedang Furuโ tidak mesti. 5. Ushul tidak menerima perbedaan, sedang Furuโ menerima. 6. Ushul tidak bisa berubah, sedang Furuโ ada yang bisa berubah. 7. Ushul sangat prinsip, mendasar dan fundamental, sedang Furuโ tidak. 8. Ushul perbedaannya disebut Inhiraf, sedang Furuโ perbedaannya disebut Ikhtilaf. 9. Ushul perbedaannya harus diluruskan, sedang Furuโ perbedaannya harus dihargai. 10. Ushul perbedaannya melahirkan Firqoh, sedang Furuโ perbedaannya melahirkan Madzhab. Dengan demikian jelas, bahwa pengetahuan tentang Ushul dan Furu menjadi sangat penting bagi umat Islam, sehingga mutlak dibutuhkan pembelajaran Metodologi Pemilahan antara Ushul dan Furu kepada kaum muslimin untuk mengetahui mana yang prinsip dan mana yang tidak prinsip. Untuk memenuhi kebutuhan umat tersebut, maka Alhamdulillah saya mendapat kesempatan baik untuk merampungkan Desertasi dalam bahasa Arab di University Sains Islam Malaysia USIM di Bandar Nilai โ Malaysia dengan judul โManaahijut Tamyiiz bainal Ushuul wal Furuuโ inda Ahlis Sunnah wal Jamaaโahโ artinya โMetodologi Pemilahan Ushul dan Furu menurut Ahlus Sunnah wal Jamaaโahโ di bawah bimbingan Guru Besar USIM bidang Ushuluddin, yaitu Nurdin Marjuni dan Abdul Malik, Hafizhohumallaahu Taโaalaa.. Insya Allah, dalam waktu dekat akan rampung dan diujikan di USIM, untuk kemudian bisa dipublikasikan bagi kepentingan umat Islam. Alhamdulillaahi Robbil 'Aalamiin ... Sumber
Uploaded byGalih 0% found this document useful 0 votes199 views11 pagesCopyrightยฉ ยฉ All Rights ReservedAvailable FormatsPPTX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?Is this content inappropriate?Report this Document0% found this document useful 0 votes199 views11 pagesUshul Dan FuruUploaded byGalih Full descriptionJump to Page You are on page 1of 11Search inside document You're Reading a Free Preview Pages 6 to 10 are not shown in this preview. Buy the Full Version Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Kita sering mendengar bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang ada keterkaitan atau hubungan dengan ilmu akidah atau lebih tepat lagi ilmu kalam, karena tidak sedikit ilmu kalam yang masuk dalam ilmu ushul fikih. Kita tahu ilmu kalam pun tidak lepas dari banyak perbincangan di kalangan ulama tentang bahayanya, karena merusak akidah dan lain sebagainya. Dari sisi ini kita memandang bahwa ushul fikih adalah ilmu yang bisa membuat orang akidahnya menyimpang. Tetapi tidak banyak yang menyadari bahwa di sisi lain ilmu ushul fikih memiliki peran yang signifikan dalam membenahi dan meluruskan akidah. Jika kita memahami pernyataan sebelumnya, tentu kita bertanya-tanya, bagaimana hal itu bisa terjadi? Oleh karenanya, kita perlu membagi pembahasan ini kita bagi menjadi dua bagian, bagian pertama adalah agar kita mengetahui benarkan ilmu ushul fikih merupakan ilmu yang memiliki hubungan erat dengan ilmu akidah? Setelah itu di bagian kedua kita akan mencermati bagaimana ilmu ushul fikih justru bisa digunakan sebagai sarana yang tepat dalam memperbaiki akidah Pertama Benarkah ushul fikih adalah ilmu yang merusak akidah? Perlu diketahui bahwa para ahli ushul dari kalangan Ahlus Sunnah sangat banyak dan karya mereka pun banyak, baik mereka tuangkan dalam kitab ushul fikih secara khusus atau mereka tuangkan di sela-sela kitab mereka dalam hadits, fikih, akidah maupun tafsir. Contohnya Raudhatun Nadzir karya Ibnu Qudamah, Qawathiโ Al-Adillah karya As-Samโani, Al-Musawwadah karya keluara Taimiyah, Iโlam Al-Muwaqqiโin karya Ibnu Qayyim, Syarh Kaukabul Munir karya Ibnu Najjar Al-Futuhi dan lainnya. Bahkan kita semua tahu bahwa yang pertama kali menulis kitab dalam ushul fikih adalah Imam Syafiโi yang dikenal dengan Ar-Risalah. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata โPembahasan dalam ushul fikih dan pembagiannya kepada Kitab, Sunnah, Ijmaโ dan Ijtihad serta pembahasan sisi pendalilan dalil-dalil syarโi pada suatu hukum adalah perkara yang sudah dikenal sejak zaman para sahabat Rasulullah shallallฤhu alaihi wasallam dan para tabiโin serta para imam kaum muslimin, mereka dahulu lebih ahli dengan bidang ilmu ini dan bidang-bidang ilmu agama lainnya daripada orang setelah mereka. Umar bin Khatthab pernah menulis surat kepada Syuraih yang berisi perintah hukumilah dengan kitabullah, jika tidak ada maka dengan sunnah Rasulullah shallallฤhu alaihi wasallam, jika tidak ada maka dengan ijmaโ, dalam lafadz lain dengan keputusan orang-orang shalih, jika tidak ada maka jika engkau mau berijtihadlah dengan pendapatmu. Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Masโud dan Ibnu Abbas dan hadits Muโadz adalah salah satu hadits yang paling terkenal di kalangan ulama ushulโ. [Majmuโ Fatawa 20/401] Ada sejumlah usaha yang dilakukan untuk melakukan pembenahan ushul fikih dari sejumlah penyimpangan akidah Menyaring pembahasan ushul fikih secara khusus yang sesuai dengan ahlus-sunnah. Sebagaimana yang dilakukan oleh Dr. Muhammad Husain Al-Jaizani dalam kitab beliau โMaโalim Fi Ushul Al-Fiqh Inda Ahlis Sunnah wal Jamaโahโ kitab ini memiliki mukaddimah yang sangat penting untuk ditelaah oleh siapapun yang ingin memulai belajar ushul fikih, sekalipun kitab sendiri ini jika dihitung sebagai kitab ushul fikih yang murni perlu pembahasan lebih lanjut. Menyaring pembahasan-pembahasan ushul fikih yang berhubungan antara ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, sehingga mudah diklasifikasikan pembahasan apa saja dalam ilmu ushul fikih yang ada hubungannya dengan ilmu akidah. Sebagaimana dalam sejumlah kitab berikut Masaโil Ushul Ad-Din Al-Mabhutsah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Dr. Khalid Abdul Lathif Kitab ini terdiri dari 4 jilid, disertasi doktoral yang dibimbing oleh Dr. Ali bin Nashir Faqihi dan Dr. Shalih bin Saโad As-Suhaimi, diuji oleh Al-Allamah Abdullah Al-Ghudayyan anggota haiโah kibar ulama dan Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr. Al-Masail Al-Musytarakah Baina Ushul Al-Fiqh wa Ushul Ad-Din, karya Dr. Muhammad Al-Arusi Abdul Qadir Beliau banyak bersandar pada ucapan-ucapan syaikhul islam Ibnu Taimiyah. Akhthaโ Al-Ushuliyyin fi Al-Aqidah, karya Abu Muhammad Shalih Al-Adani dan diberi pengantar oleh Syaikh Yahya bin Ali Al-Hajuri Kitab ini mengumpulkan sejumlah kesalahan akidah yang dilakukan oleh para ahli ushul fikih beserta bantahannya. Dibahas dalam kitab tersebut di antaranya Bahaya ilmu kalam, pembagian hadits menjadi mutawatir dan ahad, pembagian agama menjadi ushul dan furuโ, khilaf para ulama ushul dalam masalah kalam, khilaf ulama ushul tentang hukmah dan taโlil, kesalahan ulama ushul yang tidak membedakan mahabbah dan iradah, dan seterusnya. Hanya saja kitab ini seharusnya ditulis oleh seorang yang mutakhashsis atau spesialis di bidang ushul fikih agar lebih kokoh. kitab ushul fikih pada sebagian kelompok, seperti ushul fikih menurut muโtazilah. Sebagaimana dilakukan oleh Dr. Ali Ad-Dhuwaihi dalam kitab beliau yang berjudul โAaraโ Al-Muโtazilah Al-Ushuliyahโ. Yang berhak membahas korelasi antara dua ilmu semacam ini adalah seorang yang menguasai dua ilmu tersebut dengan baik, dalam hal ini adalah ilmu ushul fikih dan ilmu akidah, ia harus memahami metode keduanya, kitab-kitabnya, akidah-akidah penulisnya, istilah-istilah masing-masing bidang keilmuan tersebut dan seluk-beluknya. Karena jika tidak demikian, bisa saja ia tidak memahami istilah tertentu sehingga mendatangkan hal-hal yang aneh, membuat ungkapan-ungkapan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, menempatkan kalam para ulama ushul bukan pada tempatnya dan hal-hal lain yang tidak dikehendaki. Terlebih, ushul fikih adalah ilmu yang luas dan tidak berada pada satu corak tertentu, bisa kita perhatikan Al-Juwaini, Al-Ghazali, Al-Fakhr Ar-Razi dan Al-Amidi, mereka semua ahli ushul fikih dari satu madzhab fikih yang sama, yaitu syafiโiyah, akan tetapi kita bisa menjumpai mereka banyak berbeda pendapat dalam masalah-masalah ushul fikih. Kedua Bagaimana ilmu ushul fikih bisa menjadi sarana dalam memperbaiki akidah? Ini adalah faedah penting yang sudah terbukti dengan praktik nyata, yang menyimpulkan bahwa ilmu ini sebenarnya memiliki pengaruh positif yang besar dalam memperbaiki akidah, terlepas dari perkataan sebagian kalangan โIlmu ini adalah produk orang-orang muโtazilahโ dan semisalnya yang membuat orang lari dari ilmu ini. Akan tetapi sudah terbukti dengan sejumlah daurah yang diadakan oleh berbagai pihak dan berbagai macam lembaga, misalnya dari haโiah khairiyah lembaga sosial maupun rabithah alam islami atau dari pihak universitas-universitas tertentu. Di antaranya adalah daurah musim panas yang diadakan di berbagai negara muslim yang di antaranya muslim menjadi minoritas, di tempat yang tersebar tasawuf, menjamur berbagai praktik kesyirikan, mereka memiliki kecintaan pada agama islam ini tetapi mereka terjerumus dalam berbagai kebidโahan dan perbuatan yang menyimpang. Mereka mempunyai guru-guru yang menjadi rujukan dan pengagungan yang terkadang berlebihan. Jika kita hadapi mereka secara langsung, bisa jadi mereka langsung mengusir dan ini kerap terjadi dalam beberapa kasus, karena mereka menganggap pendatang tersebut ingin mengganti agama yang sudah mereka kenal sejak zaman dahulu. Akan tetapi ketika kita ajarkan kaidah-kaidah umum dan kita arahkan mereka agar menghormati dalil, menyadarkan mereka agar menjadikan dalil sebagai rujukan, yaitu dalil-dalil yang wajib ditanyakan kepada siapapun yang berfatwa atau berbicara tentang suatu hukum. Dalil tentunya kita ketahui berupa Kitabullah, Sunnah Rasulullah shallallฤhu alaihi wasallam, Ijmaโ dan Qiyas. Sehingga para pemuda yang belajar dalam daurah-daurah tersebut kemudian melontarkan sejumlah tanda tanya kepada guru-guru mereka, dan guru mereka pun bertanya-tanya pada diri mereka sendiri, karena sebagian manusia jika sudah terbiasa dengan kebiasaan tertentu dalam waktu yang lama tidak pernah berhenti sejenak untuk berpikir โapakah yang saya lakukan ini ada dalilnya?โ Dari sisi lain, terkadang mereka menemukan permasalahan pada sebagian dalil, misalnya dalam hadits tertentu ternyata haditsnya lemah yang menjadikan tidak bisa diterima, atau penerapan qiyas padahal dalam masalah aqidah padahal tidak ada qiyas di sana karena tauqifi, atau terkadang mereka berdalil dengan hadits shahih tetapi mereka mentakwil dengan cara yang tidak benar dan tidak terpenuhi syarat takwil shahih. Ketika mereka menerapkan pelajaran-pelajaran ushul fikih ini, maka mereka dengan sendirinya memperbaiki kesalahan mereka dan lebih mudah menerima kebenaran setelahnya. Maka, pernyataan bahwa ilmu ushul fikih adalah ilmu yang menjauhkan manusia dari ketundukan terhadap hukum-hukum syariat dan akidah perlu ditinjau ulang. Karena faktanya bisa membenahi dan mengokohkan akidah yang benar dan bagaimana mencapainya. Faedah ini disampaikan oleh Dr. Iyadh As-Sulami dalam cuplikan muhadharah beliau di sini Fidaโ Munadzir Abdul Lathif
ushul dan furu dalam aqidah